27 December 2023 09:20
Meledaknya tungku smelter di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah menambah panjang daftar borok keselamatan kerja di smelter Nikel itu. Ledakan yang merenggut 18 nyawa pekerja itu menjadi tragedi berulang, khususnya terkait dengan keselamatan di pabrik dengan risiko amat tinggi itu.
Itulah sebabnya, pemerintah harus mengambil langkah serius, termasuk mengaudit smelter-smelter yang dibangun pihak Tiongkok di Tanah Air. Dengan ledakan yang terjadi 24 Desember 2023 di PT ITSS itu, maka telah lima insiden tragis terjadi di smelter Nikel dalam setahun terakhir. Dari lima insiden itu, tiga insiden terjadi di PT Gunbuster Nickel Industry (GNI).
Daftar hitam PT GNI pertama terjadi pada 22 Desember 2022, yakni kebakaran yang menewaskan dua orang. Salah satunya adalah Nirwana Selle, perempuan berusia 20 tahun yang bekerja sebagai operator derek dan kerap membagikan suka duka pekerjaannya di Tiktok. Selanjutnya, pada Juni 2023, terjadi insiden pekerja tersembur api yang menyebabkan satu orang tewas.
Masih di kawasan IMIP, pada sekitar April 2023, juga terjadi kecelakaan kerja di PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Industry (PT IGCNSI). Akibatnya, dua pekerja tewas tertimbun limbah nikel.
Pada peristiwa terbaru yang terjadi di PT ITSS, hingga kemarin sore, tercatat sudah 18 pekerja meregang nyawa. Mereka meliputi delapan tenaga kerja asing (TKA) dan 10 pekerja lokal.
Bukan hanya karena jumlah korban yang mengerikan yang membuat berbagai kalangan geram. Terus-menerus terjadinya insiden pantas membuat kita marah. Ini bukan hanya dosa perusahaan-perusahaan tersebut, melainkan juga dosa lemahnya pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) oleh pemerintah.
Dari berbagai kasus yang ada pun, kita pun dibuat heran dengan begitu banyaknya kejanggalan atau kecerobohan. Contohnya kelalaian dalam proses pendinginan slag, timbunan limbah yang mudah longsor, sampai yang terbaru, yakni sisa slag yang keluar dari tungku dan banyaknya peralatan tinggi risiko di sekitar lokasi, termasuk sejumlah tabung oksigen.
Maka kita menuntut pengusutan tuntas kasus-kasus ini. Bukan saja pengusutan tuntas kelalaian di perusahaan-perusahaan tersebut. Kepolisian dan kejaksaan juga patut memeriksa adanya kelalaian pelaksanaan pengawasan K3 oleh Kementerian Perindustrian.
Tidak cukup itu, kita menuntut pemerintah untuk memastikan komitmen K3 internasional menjadi bagian sejak awal kesepakatan investasi dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok. Selama ini, para ahli telah memperingatkan standar keamanan yang dipakai di perusahaan-perusahaan Tiongkok merupakan standar yang mereka tetapkan sendiri. Dengan kata lain, meski mengeklaim telah menerapkan K3, bisa jadi bukanlah yang menjadi standar Indonesia, apalagi standar internasional.
Belum lagi soal standar santunan yang dibagikan kepada keluarga korban meninggal yang amat tidak sebanding dengan risiko besar di perusahaan itu. Pihak perusahaan cuma memberikan santunan kepada para keluarga korban jiwa sebesar Rp25 juta. Padahal, boleh jadi para korban itu ialah penopang ekonomi keluarga.
Berulang kali Presiden mengampanyekan bahwa hilirirasi nikel mampu menaikkan pendapatan negara berlipat-lipat. Pendapatan yang semula hanya sekitar Rp17 triliun menjadi Rp510 triliun. Angka ini memang diragukan berbagai ekonom karena pada kenyataannya Tiongkok membeli bijih nikel dari penambang dengan harga murah. Tidak hanya itu, dengan sistem devisa bebas, maka perusahaan Tiongkok yang menguasai 95% smelter di Indonesia memiliki hak membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri, termasuk ke negaranya sendiri.
Ironis industri smelter Tiongkok pun semakin menyayat hati jika kita juga melihat jika lapangan kerja yang muncul juga banyak diisi oleh TKA. Belum lagi perlakuan diskriminatif yang kerap diterima pekerja Indonesia hingga menyebabkan insiden bentrok dengan TKA.
Sementara gaji TKA Tiongkok berkisar Rp17 juta–Rp54 juta, pekerja lokal hanya digaji upah minium. Bahkan ketika kecelakaan kerja yang merenggut korban jiwa, seperti yang kali ini terjadi, pekerja Indonesia yang tewas hanya mendapat santunan Rp25 juta dari perusahaan.
Sebab itu, sekali lagi, kita menuntut keras untuk pemerintah mengaudit seluruh perusahaan smelter yang ada. Pemerintah semestinya malu ketika anak-anak muda Indonesia, bukan hanya menjadi pekerja kelas rendah bergaji minimum di perusahaan asing, melainkan sampai harus meregang nyawa sementara bos-bos mereka mereguk untung besar.