Pada Dies Natalis ke-60 Institut Pertanian Bogor, kemarin, Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan situasi global yang saat ini sedang mengalami krisis pangan. Ya betul, global, bukan cuma Indonesia, dan itu tengah berlangsung saat ini.
Kita semua sepakat, Presiden bukan bermaksud ingin menakut-nakuti rakyatnya lewat pernyataannya itu. Di tengah naiknya suhu muka bumi akibat fenomena alam El Nino saat ini, Presiden ingin mengajak semua pihak tetap berkepala dingin untuk mencari solusi bersama, bukan bertindak panik.
Memang belum ada alasan untuk panik karena berbagai komoditas pangan masih mudah ditemui di pasar. Namun jika kita bertanya kepada emak-emak yang kerap berbelanja di pasar, semua sepakat harga bahan pangan terus merangkak naik sejak Januari 2023.
Terus naiknya harga pangan itu tak lain imbas dari perubahan iklim yang sangat ekstrem, pembatasan ekspor sejumlah negara, hingga ambyarnya tata niaga pangan dunia akibat perang Rusia-Ukraina. Keseimbangan antara pasokan dan permintaan global pun menjadi jomplang. Di saat volume kebutuhan isi perut tak berubah, pasokan mengalami gangguan.
Situasi itu membuat tiap negara harus membuat strategi untuk menjaga ketahanan pangannya masing-masing. Negara yang tak punya kecukupan pangan terpaksa membeli dengan harga mahal dari negara lain, itu pun jika negara tersebut punya sisa kelebihan stok. Di sisi lain, negara-negara produsen pangan tentu akan lebih mendahulukan kebutuhan rakyatnya sendiri ketimbang kebutuhan negara lain.
Di dalam negeri, naiknya harga pangan sejatinya sudah dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak Januari 2023. Inflasi harga bergejolak, yang didominasi bahan pangan, terus melaju sejak awal tahun hingga Juli dan baru bisa turun pada Agustus lalu.
Sepanjang tahun ini, inflasi kelompok harga bergejolak secara bulanan yakni 1,40% (Januari), 0,28% (Februari), 0,29% (Maret), 0,29% (April), 0,49% (Mei), 0,44% (Juni), dan 0,17% (Juli). Harga pangan baru bisa mengalami deflasi -0,51 pada Agustus karena masuknya musim panen.
Namun yang perlu menjadi catatan, tingginya harga pangan sepanjang satu semester itu di luar kelaziman. Lazimnya, kelompok harga bergejolak itu akan mengalami deflasi jika dalam 2-3 bulan sudah mengalami inflasi. Kelompok harga tersebut biasanya mengalami deflasi setelah periode Ramadan dan Lebaran.
Deflasi pada Agustus pun lebih disebabkan oleh sedikit membaiknya pasokan karena masuknya masa panen di sejumlah wilayah. Namun hasil produksi itu pun sudah diprediksi sejak jauh hari tak bakal mencukupi dan akan ditambal lewat pasokan impor. Untuk 2023, pemerintah telah menugaskan Bulog mengimpor 2 juta ton beras. Hingga saat ini, sudah terealisasi 1,55 juta ton dan sisanya 453 ribu ton dalam perjalanan.
Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2023 yang dipimpin Presiden Jokowi pada Senin (11/9) lalu, BPS sudah mengingatkan adanya ancaman defisit beras di dalam negeri, yakni kekurangan 0,09 juta ton pada September dan 0,27 juta ton pada Oktober. Kekurangan terjadi karena produksi beras domestik ditaksir hanya 2,46 juta dan 2,28 juta ton, sedangkan konsumsi diperkirakan sebanyak 2,55 juta ton per bulan.
Defisit itu diprediksi akan berlangsung hingga Januari 2024. Karena itu, BPS pun telah memperhitungkan inflasi harga pangan akan kembali terjadi mulai September ini hingga awal tahun depan.
Dari paparan BPS tersebut, kiranya sudah cukup menjadi data dan fakta bahwa ketahanan pangan kita masih jauh dari status ideal. Bahasa gampangnya, ketahanan pangan kita sangat rapuh dan kebutuhan perut kita sangat bergantung pada kemurahan hati negara lain.
Situasi itu bertolak belakang dengan situasi di era 80-an, di masa kejayaan beras nasional. Program swasembada beras di zaman itu bahkan menjadi role model bagi negara lain. Pantang bagi Indonesia mengimpor beras di Orde Baru. Pemerintahan kala itu masih memegang kuat prinsip negara agraris dalam menjalankan kebijakannya. Sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi ciri negara agraris tak tergerus oleh perubahan zaman.
Semua tentu sepakat, mencontek keberhasilan di masa lalu bukan sesuatu yang haram bagi pemerintahan sekarang maupun yang akan datang. Bahkan mungkin harus dilakukan jika kita memang ingin kembali berdaulat di sektor pangan.