12 October 2023 09:14
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Negara-negara Kepulauan dan Negara Pulau (Archipelagic and Island States Forum) baru saja ditutup kemarin. Kegiatan yang digelar selama dua hari di Nusa Dua, Bali, itu berhasil melahirkan sejumlah kesepakatan dan sebuah deklarasi, yang intinya memperkuat kerja sama dalam mengatasi masalah kelautan.
Presiden Joko Widodo saat membuka KTT menyampaikan, sebagai tuan rumah, Indonesia bersama negara kepulauan dan negara pulau lainnya menghadapi tantangan kompleks yang saling berkaitan satu sama lain. Misalnya persoalan seperti kenaikan permukaan laut, tata kelola sumber daya laut, dan pencemaran laut.
"Kolaborasi dan solidaritas negara kepulauan dan negara pulau sangat penting untuk menghasilkan langkah-langkah strategis, konkret, dan taktis dalam penyelesaian masalah bersama," ujar Presiden.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, bukan baru sekarang Indonesia berpikir soal kelautan. Indonesia bahkan punya kementerian khusus yang menangani masalah laut, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebuah kementerian yang lahir dari tuntutan reformasi di tahun 1999.
Jika ditilik dari sisi umur, usia kementerian itu sudah menginjak 24 tahun pada tahun ini, namun persoalan laut terus saja mendera Indonesia. Berbagai kebijakan tentunya telah diambil, baik oleh pemerintah saat ini maupun rezim-rezim sebelumnya, tapi laut kita tetap saja masih dipenuhi sampah plastik dan berbagai kerusakan lainnya.
Apakah itu karena kebijakan yang diambil kerap berubah sesuai selera pemerintah yang berkuasa? Atau memang akarnya kita tak punya selera mengurus masalah laut?
Kita ambil contoh kebijakan soal ekspor pasir laut. Pada tahun 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri melarang kegiatan ekspor pasir laut untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil. Menteri Industri dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan Bersama sebagai payung hukum larangan itu.
Namun 20 tahun kemudian, tepatnya pada 15 Mei lalu, Presiden Joko Widodo justru membuka keran ekspor pasir laut dengan menerbitkan PP No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pasal 9 dan Pasal 15 PP itu menyebutkan, pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat digunakan untuk ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dua kebijakan itu terang saja membuat masyarakat bingung. Meski lahir dari Presiden yang berasal dari partai yang sama, kebijakan itu saling bertolak belakang.
Pertanyaannya, mau dibawa ke mana sesungguhnya laut kita? Itu baru satu persoalan, belum lagi soal sampah. Laut hingga sekarang masih menjadi tong sampah penduduk yang tinggal di darat.
Berdasarkan data yang dikeluarkan World Population Review, setiap tahunnya sekitar 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton plastik masuk ke laut.
Pada 2021, lima negara Asia menjadi menyumbang limbah plastik ke lautan di dunia, yaitu Tiongkok, Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Filipina. Alamak, ada nama Indonesia di situ. Sungguh memalukan.
Ibarat sebuah rumah, laut tak bisa dipandang sebagai halaman belakang, tempat kita menaruh barang rongsok. Laut harus tetap dipandang sebagai satu kesatuan dari rumah yang harus dipandang sama pentingnya.
Bahkan jika perlu pandangannya harus dibalik, laut adalah halaman depan rumah kita, menjadi etalase bagi orang lain yang melintas. Jika laut bersih dan sehat, bisa dipastikan bersih dan sehat pula penghuni rumahnya.
Luas lautan di Indonesia adalah sekitar 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai produktif terpanjang kedua di dunia.
Indonesia merupakan negara dengan ekonomi kelautan terbesar di ASEAN, dengan nilai tambah sektor perikanan mencapai sekitar 27 miliar dolar AS. Karena itu, Indonesia harus menjadi teladan pengelolaan kelautan yang benar bagi negara kepulauan dan negara pulau lainnya.
Jangan punggungi laut apalagi melanggengkan praktik rasuah sektor kelautan. Secara kelembagaan, jangan ada lagi korupsi seperti yang menimpa dua Menteri KKP sebelumnya. Demi kejayaan Indonesia sebagai negara maritim.