Bedah Editorial MI - Bukan Kejahatan Main-Main

Yusuf Riaman • 20 August 2024 09:57

Demokrasi di Republik ini betul-betul sedang dalam situasi gawat. Demokrasi di ujung petaka karena dari waktu ke waktu salah satu variabel utamanya, yaitu pemilihan umum (pemilu), hampir selalu bermasalah dalam hal kredibilitas dan legitimasinya. Pemilu ialah penyangga demokrasi. Kalau salah satu penyangganya terus terkikis legitimasinya, pasti, lambat laun demokrasi itu akan roboh. 

Sungguh disayangkan, pengalaman kita enam bulan lalu ketika Pemilu 2024, terutama Pilpres 2024, dilangsungkan dengan legitimasi yang lemah dan terus dipertanyakan lantaran masifnya pelanggaran dan kecurangan yang terjadi, kiranya tidak menjadi pelajaran untuk penyelenggaraan Pilkada 2024. 

Alih-alih menutup potensi celah kecurangan pada Pemilu 2024 yang mungkin bakal direpetisi atau dimodifikasi saat pilkada, penyelenggara pemilu malah seolah membiarkannya tetap menganga. Kompetisi pemilihan pemimpin daerah yang seharusnya dapat dilangsungkan dengan lebih baik, lebih kredibel, lebih berintegritas, nyatanya justru juga diwarnai dengan dugaan maraknya kelancungan-kelancungan. 

Bahkan kalau kita lihat dari kasus terbaru yang bakal amat mencoreng penyelenggaran pilkada, keculasan justru dilakukan oleh calon independen (perseorangan). Padahal, sejujurnya, mereka, para calon perseorangan itu diharapkan bisa menjadi antitesis atau setidaknya menjadi penyeimbang dari dominasi pilkada yang dikonsolidasikan menjadi monolit, tanpa alternatif.

Dugaan kecurangan itu teramat benderang dan nyata-nyata dilakukan oleh bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur perseorangan pada Pilkada Jakarta, yaitu Dharma Pongrekun-Kun Wardana, sungguh keterlaluan. Demi mengamankan syarat dukungan masyarakat, mereka mencatut tanpa izin penggunaan Nomor Induk kependudukan (NIK) warga DKI Jakarta.

Memang, bagi calon perseorangan, untuk memenuhi persyaratan pencalonan sangat berat, rumit, juga kompleks. Tak dimungkiri, banyak bakal calon perseorangan yang gagal sebelum bertanding karena tak sanggup memenuhi syarat dukungan yang berat itu. Akan tetapi, bukan berarti hal itu boleh dijadikan alibi untuk mencari jalan pintas, dengan seenaknya menggunakan data pribadi warga untuk memanipulasi dukungan kepada mereka.

Jelas, tindakan itu bukan sekadar pelanggaran administratif atau prosedural. Melihat banyaknya laporan pencatutan identitas itu, gamblang untuk dinyatakan ada dugaan unsur kejahatan dalam tindakan yang dilakukan pasangan Dharma-Kun tersebut. Pertama, dalam konteks pilkada, pemalsuan daftar dukungan calon perseorangan melanggar itu melanggar Pasal 185A ayat (1) Undang-Undang Pilkada. Ancaman hukumannya paling singkat pidana 36 bulan dan paling lama 72 bulan. 

Penyalahgunaan data pribadi juga masuk dalam ranah pidana yang lain. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, ada ancaman pidana 10 tahun bagi mereka yang menyalahgunakan data pribadi. Banyak lagi ancaman hukuman yang bisa disangkakan kepada pasangan itu jika kita buka UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Yang jelas, tindakan itu juga melanggar undang-undang dan ketentuan syarat perseorangan dalam kontestasi pilkada. Artinya, hal itu merupakan kejahatan yang bukan main-main. Di sisi lain, tindakan itu juga semakin mengonfirmasi bahwa persoalan serius dalam mekanisme pengawasan dan verifikasi pemilu yang terus menggerogoti penyelenggara pemilu rupanya masih bersemayam. Kasus pencatutan data warga di Pilkada Jakarta ini menjadi contoh akibat yang amat nyata ketika niat jahat berpadu dengan lemahnya pengawasan dan verifikasi yang terkesan serampangan. 

Karena itu, sembari menanti proses hukum pidana kasus pencatutan data warga tersebut, KPU dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) DKI semestinya tidak ragu membatalkan pencalonan pasangan Dharma-Kun demi menjaga integritas proses pilkada sekaligus mengembalikan kepercayaan publik yang terus terkoyak. Sekali kelancungan itu dibiarkan, lagi-lagi, yang akan dipertaruhkan ialah masa depan hukum dan demokrasi di negeri ini.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Nopita Dewi)