Jakarta: Tes psikologi yang diterapkan kepada tenaga medis saat proses rekrutmen dinilai belum sepenuhnya efektif menyaring potensi pelaku kekerasan seksual. Kriminolog Universitas Indonesia Haniva Hasna menilai bahwa meski tes psikologi dilakukan, hasilnya bisa dimanipulasi karena saat ini tes tersebut dapat dipelajari.
“Tes psikologi bukan jaminan utama. Kadang perilaku menyimpang baru muncul saat ada kesempatan dan ketika pelaku merasa korban tidak memiliki kekuatan untuk melawan,” ungkap Haniva dikutip dari Selamat Pagi Indonesia pada Kamis, 17 April 2025.
Ia menjelaskan bahwa
kejahatan seksual kerap dilakukan dengan perhitungan matang. Pelaku bisa memanfaatkan kondisi korban yang lemah dan mengalami tonic immobility, yakni membeku karena takut dan stres. Pelaku juga kerap mencari celah hukum agar lolos dari jerat pidana.
Menanggapi wacana pemberian hukuman kebiri kimia, Haniva menyebut hal tersebut bisa menjadi bentuk perlindungan, bukan sekadar hukuman. Menurutnya, kebiri kimia justru mencegah pelaku mengulangi perbuatannya.
“Meski ada perdebatan soal
HAM, kebiri kimia melindungi pelaku dari tindakan ulang. Efek sosialnya pun signifikan, karena memberikan efek jera bagi pelaku lain,” jelasnya.
Namun, Haniva menekankan bahwa hukuman kepada pelaku tidak cukup. Yang lebih utama adalah perbaikan sistem, terutama dalam lingkungan dunia medis, agar kasus serupa tidak terulang dan korban bisa mendapat perlindungan yang lebih baik.
“Fokus kita tidak hanya menghukum pelaku, tapi juga membangun sistem yang melindungi korban secara menyeluruh,” pungkasnya.
(Tamara Sanny)