11 December 2025 21:54
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri memastikan kasus temuan kayu gelondongan yang terbawa arus banjir bandang di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Garoga, Tapanuli Utara dan Anggoli, Tapanuli Tengah resmi naik ke tahap penyidikan.
Penyidik menegaskan adanya unsur pidana di balik bencana tersebut. Berdasarkan hasil penelitian sampel di lokasi, kayu gelondongan yang ditemukan di sungai identik dengan kayu-kayu yang berada di lokasi pembukaan lahan.
Selain itu, penyidik menemukan kejanggalan pada bekas longsoran di lokasi. Longsor dinilai tidak terjadi secara alami, melainkan diduga kuat akibat campur tangan manusia atau aktivitas pembukaan lahan yang serampangan di lereng curam.
Tim penyidik gabungan mengungkap temuan bukti penting di Tempat Kejadian Perkara (TKP), yakni adanya alat berat yang diduga digunakan dalam aktivitas ilegal tersebut.
"Di TKP ditemukan alat berat, ekskavator dua unit, kemudian buldosernya satu. Tentunya untuk proses penyidikan kami lakukan penyitaan untuk pembuktian, apakah ada korelasi sebab-akibat bukaan lahan ini dengan banjir di bawahnya," ujar Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pol Mohammad Irhamni.
Penyidik menambahkan bahwa pembukaan lahan dilakukan di lereng yang sangat curam. Sehingga ketika hujan ekstrem turun, material tanah dan kayu langsung terbawa air dengan cepat ke DAS Garoga dan menyebabkan banjir bandang.
Ito Sumardi: Usut Pemberi Izin dan Indikasi Korupsi
Menanggapi temuan ini, Mantan Kabareskrim Polri, Komjen Pol. (Purn) Ito Sumardi, meminta penyidik tidak hanya memburu para pelaku lapangan, tetapi juga mengejar pihak pemberi izin, baik instansi daerah maupun kementerian.
Ito mencurigai adanya audit lingkungan yang tidak berjalan, pembiaran, atau bahkan indikasi tindak pidana korupsi dan gratifikasi dalam penerbitan izin pembukaan lahan tersebut.
"Kalau begini kan kita juga harus memperhatikan kementerian atau instansi yang memberikan izin. Apakah ada indikasi korupsi atau gratifikasi? Jadi jangan hanya kepada para pelaku penebangan, tetapi juga instansi yang memberikan izin," tegas Ito.
"Logikanya, kalau audit lingkungan mengatakan hutan di sana tidak boleh kurang dari 30%, ternyata sekarang tinggal 25%, tinggal ditelusuri mengapa izin ini dikeluarkan. Ini harus melibatkan Kejaksaan Agung atau KPK," tambahnya.