Bedah Editorial MI: Inkonsistensi Pengawal Konstitusi

4 October 2023 11:46

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) sangat mengecewakan. Selain jauh dari keadilan, putusan terhadap gugatan uji formil lima perkara tersebut inkonsisten terhadap putusan MK sendiri pada 25 November 2021, bahwa UU Cipataker cacat secara formil. 

Kala itu, MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan memerintah pemerintah melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun. Maka sangat janggal ketika perbaikan tidak dilakukan pemerintah dan malah pada Desember 2022, Presiden Joko Widodo memaksakan berjalannya UU Ciptaker itu dengan menerbitkan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja, MK kini justru merestuinya.

Adanya dissenting opinion oleh empat dari sembilan hakim MK yang bertugas dalam lima perkara tersebut juga menguatkan kesan janggal akan sikap MK saat ini. Terlebih, seperti informasi yang dimuat di situs resmi MK, tiga hakim yang berbeda pendapat menyatakan permohonan Pemohon seharusnya dikabulkan. Ketiganya, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.
 
Sementara, Suhartoyo menyampaikan seharusnya MK menyatakan permohonan para Pemohon dinyatakan premature. Selain itu sebelum sebelum menjatuhkan putusan akhir, MK semestinya melalui putusan provisi memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk memenuhi amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. 

Empat dissenting opinion itu sesungguhnya bukan saja menunjukkan perbedaan dalam melihat fakta-fakta hukum dan tata cara pembentukan UU, melainkan menunjukkan perbedaan yang  lebih mengkhawatirkan. Mau tidak mau harus dikatakan jika para hakim MK tidak memiliki integritas yang sama terhadap konstitusi. 

Maka tidak mengherankan jika para buruh mencurigai adanya konspirasi jahat untuk memuluskan UU Ciptaker. Hal ini termasuk dengan pemecatan Hakim Aswanto, yang ikut memenangkan gugatan awal. 

Sebab itu, kita pun mendukung rencana kelompok buruh yang akan melaporkan lima hakim yang menolak gugatan uji formil kali ini, kepada Majelis Kehormatan MK. Sikap lima hakim tersebut, termasuk Ketua MK yang juga adik ipar Presiden, Anwar Usman, memberi preseden buruk ke depan.
Presiden dapat dengan mudahnya tidak menjalankan putusan MK dengan membuat Perppu. Kedaruratan juga dapat dengan mudahnya dijadikan alasan untuk pemerintah dan DPR tidak menjalankan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation).

Memang langkah ini tidak dapat mengubah putusan, namun perlawanan seminimal apapun harus dilakukan untuk mencegah kebobrokan MK yang lebih jauh. MK sebagai pengawal konstitusi harus hadir dengan integritas para hakimnya yang kukuh. 

Selanjutnya, kita pun menuntut agar keadilan ditegakkan dalam uji materiil yang masih berlanjut untuk perkara nomor 40/PUU-XXI/2023. Perkara yang diajukan 121 pemohon itu menggugat sedikitnya 48 pasal dalam UU 6/2023. Pasal-pasal tersebut bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum melainkan ada yang jelas-jelas berpotensi menindas pekerja.

Salah satu pasal yang digugat adalah Pasal 156 mengenai uang pesangon.  Pasal itu sekaligus menjadi jalan mudah PHK karena ketentuan pesangon yang sangat kecil dibanding ketentuan UU Ketenagakerjaan. Dalam UU 6/2023, pegawai dengan masa kerja 24 tahun atau lebih, hanya diberikan uang penghargaan 10 bulan upah. 

Masih terkait pengupahan, pemerintah juga menambahkan pasal 88F yang benar-benar baru. Lewat pasal itu pemerintah pusat bisa secara absolut menentukan besaran upah buruh. Hal ini merupakan wujud nyata kebijakan sentralisasi. 

Kita mendesak para hakim MK yang bertugas dalam uji materiil perkara tersebut untuk benar-benar menggunakan nurani dan menegakkan keadilan. Para hakim harus menyadari bahwa putusan atas pasal-pasal tersebut bukan hanya menentukan nasib pekerja namun sangat berdampak pada kualitas generasi di masa mendatang.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sebanyak 37,02% penduduk Indonesia berstatus sebagai buruh, karyawan, dan pegawai pada Februari 2021. Kelompok pekerja ini bukan hanya menanggung hidup sendiri, melainkan banyak yang merupakan generasi sandwich, atau menjadi gantungan hidup generasi di bawah dan juga di atasnya. Iklim kerja yang buruk sama saja dengan mencurangi bonus demografi dan tentu saja akan menghambat Indonesia maju.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Leah Alexis Laloan)