Bedah Editorial MI - Patuhi Regulasi Demi Jaga Demokrasi

12 March 2024 09:14

Baik-buruknya demokrasi, salah satunya, ditentukan oleh seberapa kuat kepatuhan para pelaku demokrasi pada regulasi. Soal kepatuhan itu pun diuji dalam pesta demokrasi kali ini, termasuk ihwal pemilihan ketua DPR nanti.

Dalam sistem presidensial, posisi ketua DPR memang tak sevital presiden. Namun, ia tetap penting, bahkan sangat penting. Ia juga strategis, baik ke luar maupun di dalam. Ke luar, ketua DPR merupakan juru bicara resmi serta mewakili DPR dalam kerja sama dan relasi dengan pemerintah maupun lembaga negara lain. Di dalam, ia merupakan koordinator alat kelengkapan DPR dan pemimpin sidang-sidang DPR.

Oleh karena itu, wajar, amat wajar, jika kursi ketua DPR menjadi incaran partai-partai politik kontestan pemilu. Demikian halnya di Pemilu 2024 yang pemenangnya, baik untuk kategori eksekutif melalui pilpres maupun klaster legislatif lewat pileg, kian gamblang terlihat.

Untuk legislatif, hampir dipastikan PDIP mengukir hattrick kemenangan setelah sebelumnya berjaya pada Pemilu 2014 dan 2019.  Suara mereka memang merosot tajam, dari 19,33% lima tahun lalu menjadi hanya 16% lebih. Mereka cuma unggul sekitar 1% atas Partai Golkar yang suaranya melejit gila-gilaan, dari 12,31% di Pemilu 2019 menjadi lebih dari 15%. 

Seiring dengan itu, pertanyaan perihal siapa yang berhak menduduki kursi Senayan-1 pun sempat mengemuka. Muncul lagi bisik-bisik politik, apakah ketua DPR tetap menjadi jatah partai pemenang pemilu atau justru direbut partai lain. Menyeruak pula wacana perubahan UU No 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), terutama terkait dengan pasal yang mengatur mekanisme penentuan ketua DPR.

Dalam UU MD3 digariskan, ketua DPR adalah milik partai peraih suara terbanyak. Ketentuan ini adalah hasil karya anggota DPR yang dibuat tak sekadar untuk kepentingan DPR tetapi juga demi rakyat. Oleh sebab itu, sangatlah elok, mereka mematuhinya. Sangat tidak patut jika ada orang dalam yang justru berambisi mengutak-atiknya, mengakalinya, untuk kepentingan pribadi maupun kelompok partai.

Regulasi bahwa kursi ketua DPR merupakan jatah partai pemenang pemilu selaras dengan prinsip demokrasi. Adilnya, yang menang memang berhak mendapatkan lebih, tapi tidak berprinsip the winner takes all, tak menguasai semuanya. Yang bukan pemenang pun tak lantas tersingkirkan, tapi tetap mendapatkan kuota kursi wakil ketua DPR dengan sistem urutan.

Sementara ini, kita menyambut baik komitmen partai untuk patuh pada ketentuan. Partai Gerindra yang kemungkinan bertahan di posisi tiga telah menegaskan, penentuan ketua DPR akan mengikuti mekanisme yang sudah ada. Melalui sekjennya, Ahmad Muzani, mereka menegaskan tak akan mengusulkan revisi UU MD3 untuk mengubah ketentuan itu.

Partai Golkar satu frekwensi. Ketua umum Airlangga Hartarto dan wakil ketua umum Bambang Soesatyo menegaskan, partainya tak punya skenario untuk merebut kursi ketua DPR dari tangan partai pemenang. Tentu kita berharap, sikap dan komitmen itu bukan cuma sementara, tidak beda sekarang lain kemudian, tetapi tetap dipegang teguh nantinya.

Begitulah seharusnya berdemokrasi. Kenapa demokrasi kita pilih sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara, karena ia menawarkan keteraturan dan keadilan. Keteraturan dan keadilan bisa terlaksana hanya jika semua pihak tunduk pada ketentuan. Agar demokrasi sehat,  jangan suka-suka menabrak aturan, termasuk aturan penentuan ketua DPR. 

Jangan duplikasi catatan hitam di Pemilu 2014 ketika koalisi tambun pendukung Prabowo Subianto-Hatta Radjasa mengutak-atik regulasi untuk menguasai parlemen yang berujung pada kegaduhan dan ketidakpastian panjang. Jangan pula meniru tangan-tangan jahat di pilpres kali ini yang karena mabuk kekuasaan lalu bermuslihat, menjungkirbalikkan peraturan, menyalahgunakan wewenang, agar tetap berkuasa. Jangan biarkan virus keburukan dan kebrutalan di pilpres menular.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Nopita Dewi)