12 November 2024 13:37
Dengan kemenangan Donald Trump dalam pilpres Amerika Serikat (AS), maka sebagai mitra dagang dekat Tiongkok dan juga mitra stategis komprehensif bagi Tiongkok maupun AS, Indonesia di bawah Prabowo Subianto berada dalam posisi sulit.
"Trump mungkin mendorong mereka untuk mencoba memutuskan sevara eksplisit, negara adikuasa mana yang akan mereka pilih, yang merupakan sesuatu yang tampaknya tidak ingin dilakukan negara-negara Asia Tenggara besar selain Filipina dan tidak sejalan dengan komitmen historis Indonesia untuk tidak berpihak dan untuk memiliki banyak teman dan sedikit musuh." kata Council on Foreign Relations, Joshua Kurlantzick.
Pada saat yang sama, penekanan pada hubungan pribadi dengan pemimpin negara lain bisa mendekatkan kedua negara. Terlebih dengan latar belakang militer Prabowo.
"Trump suka mantan militer, seperti pemimpin yang jantan dan kuat. Dia berbicara tentang pemimpin seperti itu di seluruh dunia yang dia sukai. Dan Prabowo jelas cocok dengan tipe itu meskipun dia sekarang berbicara tentang kakek dan sebagainya, dia tetap cocok dengan tipe itu." ucap Joshua Kurlantzick.
Saat masa jabatan pertama Trump, pemerintah AS juga kembali menerima Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan, untuk menegosiasi pembelian peralatan tempur.
Saat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya, Indonesia lebih banyak mengacu ke Tiongkok untuk hubungan dagang dan Amerika Serikat untuk pertahanan.
Pemerintah RI di bawah Prabowo Subianto belum genap sebulan, namun sejumlah langkah pendekatan telah dilakukan Prabowo. Tidak hanya ke Tiongkok, tapi juga ke ke Rusia melalui Forum BRICS. Masuknya Indonesia sebagai mitra BRICS bisa mengundang kecurigaan di barat.
"Mengenai BRICS, sebagian orang akan khawatir karena mereka melihat BRICS dan melihat Rusia, Tiongkok dan Iran serta beberapa aktor bermasalah seperti Iran dan tidak akan senang jika negara lain bergabung." ujar Stanford University, Scot Marciel.