Jakarta: Kuasa hukum mantan pemain Oriental Sirkus Indonesia (OCI) Muhammad Sholeh mendesak agar kasus dugaan eksploitasi dan kekerasan terhadap para pemain sirkus ditangani secara serius. Ia menilai kasus tersebut masuk kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan harus dibawa ke pengadilan HAM.
Sholeh menyesalkan jika ada pihak yang menganggap kasus ini sebagai pelanggaran HAM biasa. Padahal menurutnya terdapat unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Anak-anak dipisahkan secara paksa, itu melanggar hak asasi manusia. Perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perbudakan, tiga unsur pelanggaran HAM berat itu sudah terpenuhi,” kata Sholeh, dikutip dari Metro Siang Metro TV pada Kamis, 24 April 2025.
Ia menyoroti bahwa selama 28 tahun, tidak ada pengakuan atau tanggung jawab dari pihak OCI maupun lembaga yang menaunginya. Termasuk
Taman Safari.
“Selama ini korban melihat OCI dan Taman Safari sebagai tembok tebal yang tak tersentuh hukum. Sudah 28 tahun berlalu, tapi tidak ada yang mengakui kesalahan,” ujarnya.
Dia mengatakan, lebih dari 60 anak diduga diambil dan dipisahkan dari keluarga mereka secara paksa untuk dipekerjakan di arena sirkus. Ia menilai perbuatan tersebut tidak bisa dianggap enteng.
“Kalau mengambil 60 anak secara kasar dan kejam itu bukan penistaan kemanusiaan, lalu apa? Maka dari itu perlu pengadilan untuk menghukum mereka, mumpung orang-orang yang bertanggung jawab masih hidup, meskipun sudah tua,” ucapnya.
Sebelumnya, sejumlah mantan pemain sirkus Taman Safari Indonesia melakukan pertemuan di Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) pada Selasa, 15 April 2025. Mereka mengadukan dugaan praktik eksploitasi, kekerasan, hingga perbudakan yang dialami selama bertahun-tahun bekerja.
Mantan pemain yang mayoritas perempuan menyampaikan langsung kesaksian pilu mereka selama menjadi pemain sirkus Taman Safari kepada Wakil Menteri HAM Mugiyanto. Kementerian HAM pun telah berkoordinasi dengan berbagai lembaga, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
(Tamara Sanny)