Demokrasi Minus Meritokrasi

30 December 2023 21:03

Rekam jejak, merupakan salah satu daya tawar utama bagi calon pemimpin. Pemilih rasional menentukan pilihan, berdasarkan rekam jejak dan gagasan. Rekam jejak jadi alat deteksi seleksi atas dasar kualifikasi, kompetensi, dan prestasi.
 
Di lain sisi, tradisi meritokrasi bisa mematangkan demokrasi karena mendorong transparansi, mencegah diskriminasi dan kolusi. Namun, dinamika politik nasional tahun ini, masih jauh dari idealisme meritokrasi.

Buktikan dengan rekam jejak. Itu lah amunisi andalan capres Anies Baswedan untuk memungkas berbagai keraguan. Rekam jejak merupakan cara paling obyektif dan transparan untuk menakar kualitas kepemimpinan.

Setiap perhelatan kontestasi demokrasi, masyarakat selalu diajak menerawang rekam jejak serta visi misi. Jangan memberi suara hanya berdasar popularitas, janji, apalagi iming-iming transaksi. Dengan rekam jejak, tercipta sistem meritokrasi. Semua anak bangsa memiliki kesempatan setara, dan seleksi berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan prestasi. 

Tahun ini, panggung politik nasional mementaskan lakon nepotisme dan kolusi mengalahkan meritokrasi. Prinsip kesetaraan, porak poranda oleh hubungan kekerabatan.

Pencopotan Anwar Usman dari posisi Ketua Mahkamah Konstitusi menjadi konformasi ada intervensi, agar putusan MK menguntungkan putra sulung Presiden Jokowi. Jimly memang tidak mengungkapkan, siapa atau kelompok mana yang mengintervensi putusan MK melalui Anwar Usman. Namun siapa yang diuntungkan oleh putusan MK, begitu kasat mata. 

Banyak yang mempertanyakan, apa rekam jejak Gibran hingga dianggap layak diusung ke puncak pemerintahan? Ada yang menjawab, di bawah komando Gibran, Kota Solo mengalami banyak perkembangan. Namun benarkah semarak pembangunan, adalah prestasi Gibran? Muncul dugaan, proyek-proyek itu adalah skenario politik untuk mendongkrak popularitas Gibran.

Ada belasan proyek yang didanai pemerintah pusat melalui pengucuran APBN. Jika ditotal, proyek-proyek itu nilainya lebih dari satu triliun rupiah. Ada pula sejumlah proyek yang dananya berasal dari kantong perusahaan milik negara. Wajar bila ada yang curiga, di balik proyek-proyek itu ada campur tangan penguasa. 

Sepanjang tahun ini, istilah Dinasti Solo kian kuat dilekatkan pada keluarga besar Presiden Jokowi. Walau tidak ada bukti, masyarakat meyakini, ada pengerahan jaringan kekuasaan untuk mendorong karir politik anak dan menantu Jokowi. 

Praktek nepotisme, kolusi, dan hegemoni kekuasaan, semestinya sudah punah pasca reformasi 1998. Namun seperempat abad reformasi, praktek tata kelola negara yang busuk itu terindikasi muncul kembali.

Di era pemerintahan Presiden Jokowi, meritokrasi dicanangkan sebagai napas birokrasi. Penempatan jabatan berdasarkan kompetensi, bukan koneksi. Namun rotasi kepemimpinan negeri, tak sesuai prinsip meritokrasi.

Ada anekdot mengenai bisnis keluarga. Bunyinya, generasi pertama merintis, generasi kedua menikmati, dan generasi ketiga menghancurkan. Namun negara, bukan lah perusahaan keluarga. Jangan sampai tatanan bernegara berantakan, cuma karena hasrat kekuasaan.

Bila meritokrasi tidak menjadi napas demokrasi, republik ini rawan terjerumus dalam kakistokrasi, yaitu dipimpin orang yang tidak kompeten dan sarat penyimpangan moral di berbagai lini. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Sofia Zakiah)