NEWSTICKER

Bedah Editorial MI: Mengawasi Rumah Ibadah

N/A • 6 September 2023 09:22

Penyusupan radikalisme dan paham terorisme di kegiatan keagamaan bukan hal baru. Ini nyata, banyak terjadi, dan sebab itu, harus ditanggulangi.

Namun, penanggulangan dengan pendekatan serbakontrol bisa amat berbahaya. Bukan saja tidak efektif, pendekatan kontrol bisa amat mudah tergelincir menjadi bentuk tirani atau diktatorisme. Jika sudah begitu, tidak hanya mencelakai hak asasi manusia, diktarorisme akan membuat sentimen dan radikalisme semakin kuat.

Karena itu, usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah, tidak tepat. Usul yang disampaikan dalam rapat dengan Komisi III DPR pada Senin (4/9) itu dapat melahirkan diktarorisme gaya baru.

Memang, dalam rapat tersebut, Rycko yang merupakan perwira bintang tiga dan juga polisi berprestasi dalam soal terorisme, sebenarnya menjawab keluhan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Safaruddin, soal adanya masjid BUMN yang isi ceramahnya selalu menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Sekali lagi, fenomena ini juga bukan hal baru.

Rycko kemudian berkaca pada negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, juga negara-negara Timur Tengah yang memiliki mekanisme kontrol tempat-tempat ibadah.

Pendapat itu pun disambut oleh pengamat terorisme Al Chaidar. Menurutnya, tanpa kontrol maka ‘pembajakan’ rumah ibadah dapat terjadi.

Meski mungkin cocok di luar negeri, kontrol rumah ibadah sebenarnya ibarat pepatah membakar lumbung demi membunuh tikus. Sudah begitu, efek bagi ‘tikus-tikus’ teroris/radikal tadi, bisa jadi hanya sekadar membatasi ruang gerak sementara. Dengan kelihaian gerak dan militansi sel yang mereka punyai, hanya soal waktu sampai orang-orang berpaham teroris/radikal ini menemukan target rumah ibadah berikutnya.

Sebab itu, alih-alih mengontrol rumah ibadah, usul yang diberikan semestinya yang langsung menyasar penganut paham radikal atau teroris. Apalagi, sebagai pimpinan lembaga semacam BNPT, Rycko semestinya mampu mengajukan usul yang memiliki mekanisme deteksi dini. Hal itu pula yang menjadi tanggung jawab BNPT.

Kalaupun negeri ini memaklumi cara-cara kontrol terkait kegiatan keagamaan, lembaga keagamaanlah yang paling berhak merumuskan maupun menjalankannya. Namun, berkaca pada program sertifikasi ulama MUI, cara kontrol oleh komunitas intrakeagamaan pun tetap sulit.

Sempat berlangsung pada 2019 program sertifikasi ulama MUI, tapi kini tak terdengar lagi. Kala itu, gelombang pertama diikuti 75 ulama. Dikatakan, dai yang lulus bukan saja berkualitas, tapi juga nonradikal.

MUI menyatakan akan bertanggung jawab terhadap kiprah dakwah mereka dan akan menegur apabila melenceng dari pakta integritas. Akan tetapi, program sertifikasi itu juga banyak ditentang kalangan ulama sendiri, termasuk dari Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia.

Lebih mendasar lagi, cara-cara penanggulangan terorisme/radikalisme tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, baik soal kebebasan beribadah maupun kebebasan berpendapat. Jika itu dilakukan, sama saja dengan langkah mundur dalam demokrasi dan penegakan HAM. Sudah semestinya cara-cara dialog dan deteksi dini menjadi garda depan dalam penanggulangan terorisme/radikalisme.

Jika memang rumah ibadah itu menjadi basis penyebaran radikalisme/terorisme, seharusnya BNPT bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia merumuskan cara-cara pencegahan paham-paham yang menggoyahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara tersebut. Bukan upaya sporadis mengawasi rumah ibadah.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Anggie Meidyana)

Tag