19 November 2025 09:02
PRAKTIK perundungan sampai detik ini masih mudah mendapati mangsa di lingkungan pendidikan. Belum lama peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta yang melibatkan siswa yang diduga korban perundungan, seorang siswa SMPN 19 Tangerang Selatan, Provinsi Banten, meninggal dunia, juga diduga sebagai korban perundungan.
Muhammad Hisyam yang baru berusia 13 tahun itu sempat dirawat di rumah sakit akibat cedera berat di kepala. Ia diduga dipukul dengan kursi besi oleh teman sekelas. Hisyam juga disebut pihak keluarga mengalami perundungan di lingkungan sekolah.
Dari banyak kasus, perundungan yang sejatinya merupakan bentuk aksi kekerasan tidak jarang berujung pada kematian korban. Korban perundungan pun kerap mengalami depresi dan banyak pula yang kemudian mengakhiri hidupnya sendiri.
Sebaliknya, perundungan sangat rawan memicu korban menjadi pelaku kekerasan yang terdorong niat membalas dendam. Hal itu turut membentuk spiral kekerasan yang belum terbendung di lingkungan pendidikan.
Dalam catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kekerasan di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, pada 2024, terjadi lonjakan kasus dari semula 285 kasus pada 2023 menjadi 573 kasus. Sebanyak 31% merupakan praktik perundungan.
Data tersebut cukup mencengangkan. Apalagi, layaknya kasus kekerasan seksual, kasus perundungan yang tercatat bisa dibilang seperti puncak gunung es.
Ketakutan, kurangnya dukungan dari pihak keluarga, abainya pihak-pihak berwenang termasuk sekolah, hingga sikap permisif terhadap praktik perundungan membuat korban sangat mungkin memilih diam. Baru setelah terjadi peledakan, pembakaran, kekerasan lain yang membahayakan jiwa, dan kematian, kasus tersebut mendapatkan atensi. Ketika itu terjadi, tentu sudah terlambat.
Praktik perundungan lazimnya merupakan rangkaian aksi dari waktu ke waktu. Seorang siswa atau mahasiwa mengalaminya seringkali memperlihatkan gejala. Artinya, ketika perundungan memakan korban jiwa atau nyaris merenggut nyawa, ada peran pembiaran. Pembiaran itu oleh pihak lembaga pendidikan, keluarga, atau bahkan keduanya.
Biangnya adalah sikap permisif terhadap perundungan. Sebuah ejekan dianggap biasa, disebut hanya candaan. Perilaku kekerasan terhadap siswa lain dianggap sebatas kenakalan remaja. Belum lagi ketika lembaga pendidikan lebih peduli pada reputasi sekolah ketimbang menciptakan rasa aman bagi semua siswa.
Perundungan sangat bisa dicegah. Untuk itu, perlu kesadaran dan kepedulian semua pihak. Kita apresisasi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti yang akan mengeluarkan peraturan menteri antiperundungan. Meski begitu, perlu disadari, salah satu penyakit di negeri ini adalah kegagalan mematuhi dan menegakkan aturan.
Saat ini, sudah berlaku Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan7 Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Tujuannya tentu saja mulia dan terlihat ideal.
Aturan itu untuk memperkuat perlindungan di lingkungan sekolah dari kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi, hingga intoleransi. Alih-alih menyetop, jumlah kasus kekerasan malah melonjak.
Kita berharap ada aksi nyata yang benar-benar mampu menghentikan perundungan dan spiral kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan. Jangan lagi menjadikan generasi penerus tumbal-tumbal pembiaran aksi kekerasan, karena Indonesia emas membutuhkan generasi emas yang sehat jiwa dan raga.