Bedah Editorial MI: Berdaulat untuk Maju

15 August 2025 09:19

DELAPAN dekade sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia telah menapaki perjalanan panjang yang penuh dinamika. Ini bukan sekadar angka, melainkan tonggak sejarah penting dalam perjalanan panjang bangsa.

Delapan puluh tahun lalu, proklamasi kemerdekaan dibacakan sebagai simbol lepasnya bangsa ini dari belenggu kolonialisme. Namun, kemerdekaan sejati tak berhenti pada lepasnya kendali asing, melainkan pada kemampuan bangsa ini untuk berdiri tegak sebagai negara maju yang berdaulat dan mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya.

Dari penjajahan menuju kemerdekaan, dari negara agraris menuju ekonomi digital, dari tantangan internal menuju posisi strategis di percaturan global. Namun, di usia 80 tahun ini, tantangan untuk menjadi bangsa maju tidak semakin ringan—justru kian besar, kompleks, dan serba tidak menentu.

Globalisasi, disrupsi teknologi, krisis iklim, ketegangan geopolitik, hingga ketimpangan sosial-ekonomi dalam negeri adalah contoh nyata tantangan zaman. Negara-negara yang ingin melangkah ke tahap negara maju dituntut untuk lincah beradaptasi, memiliki visi jangka panjang, serta mampu membangun fondasi yang inklusif dan berkelanjutan.

Dalam situasi semacam ini, Indonesia tidak bisa bertumpu pada kekuatan satu pihak saja, baik pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat sipil, karena dunia berubah sangat cepat.

Dibutuhkan semangat kolaboratif yang kokoh dan berkelanjutan. Kolaborasi lintas sektor dan lintas generasi menjadi kunci untuk menyatukan potensi, menyinergikan kekuatan, dan mempercepat lompatan kemajuan.
 

Baca: Jokowi dan SBY Hadiri Sidang Tahunan MPR
 


Menjadi negara maju bukan sekadar soal pendapatan per kapita atau pertumbuhan ekonomi tinggi. Negara maju adalah negara yang unggul dalam inovasi, adil dalam distribusi kesejahteraan, tangguh menghadapi krisis, serta mampu mengelola keragaman sosial budaya menjadi kekuatan.

Tantangan yang kita hadapi saat ini bersifat multidimensional. Di bidang ekonomi, kita harus bersaing dengan negara-negara yang jauh lebih mapan dalam hal teknologi dan inovasi. Di bidang sosial, masih dihadapkan pada tantangan kesenjangan dan eksklusi sosial yang masih nyata. 

Dalam iklim demokrasi, tak kalah banyak yang harus dibenahi. Polarisasi dan fragmentasi dapat mengancam kohesi nasional jika tidak ditangani secara bijak. 

Pemerintah tidak cukup hanya dengan regulasi. Dunia usaha tidak cukup hanya mengejar keuntungan. Masyarakat sipil dan akademisi juga tak bisa hanya berdiri di pinggir. Berbagi peran seluruh elemen bangsa adalah keniscayaan. 

Tidak ada satu pihak yang bisa menyelesaikan semua ini sendirian. Hanya dengan semangat gotong-royong bangsa ini mampu berdiri di atas kakinya sendiri, baik dalam ketahanan pangan, energi, teknologi, dan kebijakan politik luar negeri.

Tanpa kolaborasi yang kokoh dan berkelanjutan, upaya menuju Indonesia emas di usia kemerdekaan 100 tahun hanya akan menjadi omon-omon.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Gervin Nathaniel Purba)