Los Angeles: Kebakaran besar yang melanda wilayah Los Angeles, Amerika Serikat, terus meluas. Angin kencang memperparah penyebaran api yang membakar hutan, lahan, rumah, hingga tempat usaha. Bencana ini memaksa puluhan ribu warga, termasuk sejumlah diaspora Indonesia, mengungsi dan menyesuaikan aktivitas mereka.
Mieke Cahyadi, seorang diaspora Indonesia, tinggal di zona 2 di mana potensi kebakaran mencapai 30 meter. Ia mengungkapkan ketegangan saat memutuskan untuk bersiap evakuasi.
"Kalau di LA kan memang biasa banget, jadi tu udah kayak kebiasaan lah. Cek gitu loh pakai apps sama cek-cek sosial media terus aku lihat temanku dia ada post view from my balcony gitu. Terus aku keluar rumah, keluar rumah juga udah kelihatan di situ merah langitnya gitu loh," ujar Mieke dikutip dari Headline News Metro TV pada Jumat, 10 Januari 2025.
Dewi Rusmiati, diaspora Indonesia lainnya yang bekerja sebagai manajer properti di Beverly Hills, memastikan keselamatan pekerjanya.
"Sejak Selasa, semua pekerja sudah diliburkan. Bahkan kami juga menyelamatkan ayam-ayam yang ada di properti kami," katanya.
Menurut pemerintah setempat, kebakaran telah melahap wilayah seluas 117 km² dan mengaktifkan perintah evakuasi untuk sekitar 180.000 warga. Ribuan bangunan hancur, dengan puluhan ribu lainnya berada di jalur api yang meliputi Malibu hingga Santa Monica.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Los Angeles mengimbau warga negara Indonesia (WNI) untuk memanfaatkan shelter yang disediakan oleh pemerintah setempat.
"Kami menyarankan WNI untuk masuk ke shelter demi keselamatan. Selain itu, KJRI siap memfasilitasi bantuan untuk mengurus dokumen yang hilang akibat kebakaran ini," ujar Konsul Penerangan, Sosial, dan Budaya KJRI, Afina Burhanuddin.
Para ahli menyebut perubahan iklim memperpanjang musim kebakaran di California. Vegetasi yang semakin kering menjadi pemicu utama kebakaran yang sulit dikendalikan.
Di saat kebakaran melanda Los Angeles, cuaca ekstrem juga dirasakan di wilayah tengah dan timur Amerika Serikat. Badai musim dingin "Blair" menerjang setelah tahun terpanas yang tercatat, memperlihatkan bagaimana perubahan iklim berdampak pada pola cuaca global.
(Tamara Sanny)