PEMERINTAH Indonesia bakal menampung warga Gaza. Hal itu ditegaskan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Padahal kabar itu sempat dibantah mentah-mentah Menteri Luar Negeri Sugiono.
Kini, Presiden Prabowo tengah melawat ke empat negara di Timur Tengah, yakni Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Qatar, dan Jordania serta Turki, untuk melobi dan meminta persetujuan bagi langkah tersebut. Sebanyak 1.000 warga Gaza bakal dievakuasi ke Indonesia untuk gelombang pertama. Itu artinya bakal ada gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya. Jumlahnya sudah pasti beribu-ribu.
Memang sedikit ada perbedaan dengan kabar yang beredar sebelumnya. Media Israel yang dikutip media dalam negeri sebelumnya menyebut bakal ada relokasi tahap awal 100 warga Gaza ke Indonesia. Di sisi lain, atas dasar kemanusiaan, Presiden Prabowo menyebut mereka yang akan dievakuasi adalah warga Gaza yang terluka, trauma, dan anak-anak yatim piatu.
Namun, apapun bahasanya, intinya tetap sama menampung warga Gaza. Memang, Presiden Prabowo juga menegaskan bahwa upaya menampung warga Gaza itu hanya sementara. Mereka akan dipulangkan, begitu mereka pulih dan kondisi Gaza sudah memungkinkan untuk ditempati.
Kita apresiasi langkah Kepala Negara itu. Karena langkah kemanusiaan tersebut merupakan bagian dari ikut serta memelihara perdamaian dunia. Namun, Presiden harus memastikan bahwa ada ketegasan soal berapa lama mereka tinggal di Indonesia, serta memastikan bahwa pemerintah memiliki kesanggupan merawat mereka dan menjaga situasi agar tidak terjadi gesekan.
Di sisi lain, keputusan Presiden ini juga perlu dikritisi. Jika negara-negara yang dikunjungi Presiden memberi lampu hijau, apa langkah selanjutnya setelah mereka yang dievakuasi telah sembuh?
Tidak ada jaminan Gaza akan segera pulih dalam waktu dekat. Juga tidak ada garansi Israel bakal mengizinkan mereka untuk kembali ke Gaza. Karena memang keluarnya warga Gaza dari Jalur Gaza saat ini menjadi prioritas Israel dan sekutunya Amerika Serikat (AS).
Jika demikian yang terjadi, bagaimana nantinya nasib ribuan warga Gaza yang telah dievakuasi tersebut? Apakah nantinya mereka bakal tetap berada di Indonesia? Apakah pemerintah memiliki kesanggupan untuk menafkahi mereka? Ini pertanyaan-pertanyaan yang harus menjadi bagian dari roadmap untuk mengevakuasi warga Gaza tersebut.
Mesir saja yang menjadi prioritas utama AS untuk menjadi tempat relokasi Gaza tegas-tegas menolak menerima warga Gaza. Padahal, jarak Mesir dengan Gaza hanya belasan kilometer, cuma 'sepelemparan batu'. Sementara itu, jarak Gaza ke Indonesia hampir 10 ribu kilometer.
Mesir lebih memilih membangun kembali infrastruktur Gaza tanpa harus memindahkan penduduk Gaza. Mesir kini tengah menggalang dukungan untuk membangun kembali infrastruktur di Gaza. Sikap serupa juga ditunjukkan Yordania.
Karena itu, wajar bila ada yang bertanya mengapa Presiden Prabowo menerima skema warga Gaza ditampung di Indonesia. Selain itu, mengevakuasi ribuan warga Gaza bisa diartikan sama dengan mendukung langkah pembersihan etnis di Gaza oleh Israel. Mencabut warga Gaza dari tanah mereka juga melanggar hukum internasional yang sudah dikecam oleh banyak negara, PBB, dan Uni Eropa yang selama ini menjadi sekutu AS dan Israel. Warga Gaza sendiri lebih memilih untuk bertahan di tanah mereka dan berharap banyak negara menolak langkah relokasi tersebut.
Banyak opsi lain dalam mendukung warga Gaza. Misalnya, bergabung dengan Mesir dan bersama-sama menggalang negara-negara lain untuk membangun infrastruktur Gaza. Indonesia juga sudah memiliki kapal rumah sakit TNI KRI dr Radjiman Wedyodiningrat-992 di Mesir. Indonesia bisa menambah rumah sakit sejenis.
Intinya, meskipun untuk urusan kemanusiaan, dalam kondisi saat ini, mencerabut warga Gaza dari wilayah mereka perlu dipertimbangkan kembali. Kalau pun toh akhirnya menampung warga gaza, harus dipastikan bahwa mereka hanya sementara dan benar-benar bisa kembali ke tanah air mereka pada waktunya.