Editorial Media Indonesia: Siaga Bencana Jadi Soal Utama

Peringatan bencana/Ilustrasi MI

Editorial Media Indonesia: Siaga Bencana Jadi Soal Utama

Media Indonesia • 21 November 2025 06:00

INDONESIA merupakan negara yang rawan bencana alam. Itu fakta yang tak bisa dibantah dan harus kita terima. Bencana alam di Indonesia datang dalam beragam bentuk, yang beberapa di antaranya belum dapat diprediksi dan sulit pula dimitigasi lantaran banyaknya variabel alam.

Meski demikian, tingginya jumlah korban di setiap bencana bukanlah takdir mutlak. Banyaknya bencana tidak harus berbanding lurus dengan banyaknya korban jiwa. Faktor yang membedakan ialah kesiapsiagaan.

Sayangnya, faktor kesiapsiagaan itulah yang terus menjadi masalah di negeri ini. Berkaca dari dua bencana tanah longsor di Jawa Tengah pekan lalu, harus diakui kesiapsiagaan kita masih sangat lemah. Ini terjadi mulai dari level pemerintah hingga masyarakat.

Pada bencana yang terjadi di Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Cilacap, Kamis, 13 November 2025, kesaksian warga mengungkapkan bahwa retakan tanah melingkar dan dalam telah terlihat di perbukitan di atas desa sejak siang hari. Retakan tapal kuda, dalam ilmu geologi, adalah tanda awal sebelum tanah longsor.

Namun sayang, peringatan alam itu tidak memantik kesadaran. Bahasa alam yang semestinya menjadi tanda untuk evakuasi dini tidak terjadi. Tentunya kita tidak bisa serta-merta menyalahkan warga. Ketidakmampuan mereka untuk tanggap bencana adalah bukti belum adanya sistem yang dibangun dan disosialisasikan.
 


Lalu, tanah longsor yang terjadi di Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara, pada Minggu, 16 November 2025, memberi contoh lebih jelas tentang lemahnya kesiapsiagaan itu. Kecamatan Pandanarum dapat dikatakan sebagai salah satu wilayah dengan sejarah panjang tanah longsor.

Di satu dekade terakhir pun, tanah longsor silih berganti terjadi di berbagai desa di kecamatan tersebut. Pada 2016, tanah longsor menerjang empat desa. Desa Pandanarum juga pernah mengalami bencana serupa pada 2017.

Memang, dari kejadian-kejadian sebelumnya itu sistem peringatan dini bencana telah dibuat pada 2023. Sejumlah desa di Kecamatan Pandanarum masuk dalam desa rawan tanah longsor kategori tinggi, dan BPBD Banjarnegara menempatkan alat peringatan dini bencana. Menurut kesaksian warga, juga sudah ada lokasi-lokasi yang ditentukan sebagai titik aman.

Akan tetapi, harus diakui bahwa sistem kesiapsiagaan bencana masih sangat lemah. Ketersediaan perangkat early warning system masih minim, pun belum diimbangi dengan penguatan budaya tanggap bencana di masyarakat. Akibatnya, jangankan sigap mengevakuasi diri, warga juga belum punya kepekaan untuk waspada tinggi di musim rawan bencana seperti ini.

Dua bencana tanah longsor di Jawa Tengah yang menelan korban jiwa itu seharusnya menjadi peringatan serius, terutama buat pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kesiapsiagaan bencana mutlak harus serius dibangun di semua daerah rawan di Indonesia.

Minimnya perangkat early warning system atau perangkat-perangkat lain tidak boleh menjadi hambatan. Bahkan, pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, semestinya dapat mendorong lagi upaya mitigasi, antisipasi, dan tanggap bencana itu dengan metode yang berbasis kearifan lokal.


Selain itu, tak kalah penting, pemerintah daerah harus menggunakan semaksimal mungkin segala informasi dan data dari lembaga-lembaga pemantau kebencanaan maupun cuaca. Di saat BMKG telah jauh-jauh hari mengeluarkan imbauan cuaca ekstrem, maka perangkat daerah hingga desa harus disiagakan untuk menggalakkan pemantauan wilayah.

Hal-hal itu mutlak dilakukan untuk meminimalkan korban dan dampak dari bencana alam yang terkadang tidak bisa hindari. Sekali lagi, banyaknya bencana tidak harus berbanding lurus dengan banyaknya korban jiwa.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)