Hakim AS Tolak Kesepakatan Boeing Akui Bersalah dalam Kecelakaan di Indonesia dan Ethiopia

Pesawat Boeing 737 MAX. Foto: Boeing

Hakim AS Tolak Kesepakatan Boeing Akui Bersalah dalam Kecelakaan di Indonesia dan Ethiopia

Fajar Nugraha • 6 December 2024 16:28

Texas: Hakim federal Amerika Serikat (AS) menolak kesepakatan yang memungkinkan Boeing mengaku bersalah atas tuduhan konspirasi kriminal dengan membayar denda dalam kasus penyesatan regulator terkait jet 737 Max. 

Penolakan ini menambah ketidakpastian atas penuntutan kriminal terhadap perusahaan penerbangan tersebut setelah dua kecelakaan fatal yang menewaskan 346 orang.

Hakim Distrik AS Reed O’Connor di Texas, pada Kamis 5 Desember 2024, menolak kesepakatan yang memungkinkan Boeing mengaku bersalah atas konspirasi untuk menyesatkan regulator penerbangan AS.  Penolakan ini membuka peluang negosiasi ulang antara Departemen Kehakiman AS dan Boeing dalam kasus yang terkait dengan pengembangan pesawat jet 737 Max.

Keputusan ini disambut baik oleh keluarga korban kecelakaan di Indonesia dan Ethiopia yang terjadi dalam rentang waktu kurang dari lima bulan pada 2018 dan 2019. Selama bertahun-tahun, keluarga korban terus mendorong agar diadakan sidang publik, hukuman lebih berat untuk Boeing, serta penuntutan terhadap mantan pejabat perusahaan.

Kesepakatan yang ditolak itu semula akan membuat Boeing mengaku bersalah atas tuduhan menipu regulator Federal Aviation Administration (FAA) terkait kebutuhan pelatihan pilot untuk 737 Max. Namun, jaksa tidak menyebut bahwa penipuan tersebut secara langsung menyebabkan kecelakaan

Melansir dari Independent, Jumat 6 Desember 2024, pada 2021, Boeing dan Departemen Kehakiman menyepakati perjanjian penangguhan penuntutan, di mana tuduhan akan dicabut setelah tiga tahun jika Boeing mematuhi aturan dan membayar penyelesaian senilai USD2,5 miliar.

Namun, insiden baru pada awal 2024, ketika salah satu pintu darurat 737 Max terlepas selama penerbangan Alaska Airlines di Oregon, memicu pemeriksaan ulang kualitas produksi Boeing.  Departemen Kehakiman memutuskan bahwa Boeing telah melanggar kesepakatan 2021, sehingga kasus konspirasi kembali dihidupkan dan menghasilkan negosiasi kesepakatan baru.

Pada Juli 2024, Boeing sepakat untuk mengaku bersalah atas satu tuduhan konspirasi menipu FAA, terutama terkait sistem kontrol penerbangan baru bernama MCAS. 

Boeing diketahui memberikan informasi yang tidak lengkap kepada FAA, sehingga pelatihan pilot hanya berbasis komputer, bukan menggunakan simulator. Kebijakan ini dinilai untuk menekan biaya operasional maskapai agar tetap kompetitif melawan Airbus.

Akibat tindakan Boeing, pilot tidak mengetahui keberadaan MCAS hingga kecelakaan pertama terjadi pada 2018 di Laut Jawa. Meskipun sistem MCAS telah diketahui, pilot Ethiopian Airlines tetap tidak dapat mengendalikannya dalam kecelakaan kedua pada 2019 di dekat Addis Ababa.

Jaksa mengakui bahwa tuduhan konspirasi adalah dakwaan terkuat yang dapat mereka buktikan terhadap Boeing. Namun, jika kasus ini diadili, tidak ada bukti yang akan diajukan bahwa penipuan Boeing menyebabkan kecelakaan. 

Dalam kesepakatan yang ditolak, Boeing setuju untuk membayar denda hingga USD487,2 juta. Namun sebagian besar jumlah tersebut sudah dikreditkan dari penyelesaian sebelumnya pada 2021.

Pengacara Boeing, Ben Hatch, membela kesepakatan tersebut dalam sidang pada 11 Oktober lalu. Ia menyebut Boeing sebagai “pilar ekonomi nasional dan pertahanan negara” yang perlu mengetahui hukumannya sebelum menyetujui pengakuan bersalah. Pernyataan tersebut mengejutkan keluarga korban yang hadir di ruang sidang.

“Boeing terlalu penting bagi ekonomi mereka terlalu besar untuk dipenjara. Itu yang ia katakan,” ujar Michael Stumo, ayah Samya yang menjadi salah satu korban kecelakaan kedua.

Ini membiarkan mereka membunuh orang tanpa konsekuensi karena mereka terlalu besar dan para pemegang saham tidak akan menyukainya,” pungkas Stumo. (Muhammad Reyhansyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)