Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.
Media Indonesia • 28 November 2024 06:14
ORANG bijak pernah mengatakan, 'jika kau tak mampu menerima kekalahan, kau tak mampu merayakan kemenangan'. Kalau orang-orang berjiwa optimisme tinggi mendengar kalimat itu, mereka akan langsung menimpali, 'kenapa tidak sekalian saja kita merayakan kekalahan alih-alih cuma menerima kekalahan?'.
Bagi mereka, sekadar menerima kekalahan tidaklah cukup. Kekalahan mesti diterima tanpa ratapan, tanpa kesedihan, tanpa kekesalan, dan tanpa penyesalan. Itulah level tertinggi dari keikhlasan seseorang saat merespons kekalahan dalam konteks kontestasi atau kompetisi. Ekspresi dari keikhlasan tingkat itu ialah merayakan kekalahan.
Tentu cara merayakan kekalahan tidak sama dengan perayaan kemenangan. Tidak perlu ada pesta, tidak ada hura-hura. Lebih senyap, menghindari keramaian. Cara merayakan kekalahan ialah dengan mensyukuri proses yang telah dilalui sekaligus memahami bahwa kekalahan bukanlah akhir dari segalanya.
Mungkin ini terdengar klise, tetapi sejatinya memang selalu ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari setiap kekalahan. Kata orang, kegagalan ialah kesuksesan yang tertunda. Begitu juga kekalahan, adalah kemenangan yang tertunda. Maka itu, rayakanlah kekalahan, jangan ratapi kekalahan.
Konsep berpikir seperti itu kiranya pas untuk digaungkan mumpung sedang ada momentum Pemilihan Kepala Daerah (
Pilkada) 2024. Hajatan lokal sekaligus nasional itu, kemarin baru saja menyelesaikan tahapan
pemungutan suara. Ada 1.556 pasangan kandidat kepala daerah di 545 daerah meliputi 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota yang berlaga memperebutkan suara rakyat pada pilkada serentak tersebut.
Pemilihan umum sering diibaratkan sebuah kompetisi atau pertandingan politik. Di akhir kompetisi nanti, hasilnya tentu ada pihak yang menang, ada kubu yang kalah. Tidak ada hasil seri dalam kontestasi demokrasi.
Sepanas-panasnya atmosfer pertandingan, pada akhirnya semua mesti menerima hasil akhir itu. Kubu yang menang tentu akan menyambutnya dengan sukaria, terkadang ditingkahi pula dengan sikap jemawa. Sebaliknya, yang kalah biasanya akan merasa kecewa, sering kali juga ditambah gerundelan dan kemarahan.
Sebagai respons awal, barangkali hal itu wajar, lumrah. Sangat manusiawi apabila seseorang merasa sedih atau kecewa ketika mendengar kabar kekalahan. Namun, sungguh tak elok jika sikap itu menjadi keterusan. Kemarahan, kekecewaan, dan gerutuan kiranya menjadi tidak lumrah bila diterus-teruskan atau dibiarkan berlarut-larut.
Pun, kekalahan tidak bisa dibilang sebagai kemenangan yang tertunda kalau cara penerimaan atas kekalahan itu lebih didominasi rasa kecewa yang berlebihan. Menerima hasil kompetisi, sekalipun prosesnya terkadang menyakitkan, ialah modal untuk kita mau dan mampu
move on, beranjak lepas dari bayang-bayang kekecewaan.
Itulah sejatinya hakikat dari merayakan kekalahan. Toh, sebesar apa pun kekecewaan yang diterima,
the show must go on, pertunjukan tetap jalan terus. Kehidupan akan terus berjalan. Bukankah hidup bukan melulu soal kemenangan atau kekalahan? Bukankah hidup itu sendiri mesti terus dirayakan meskipun terkadang di dalamnya menyempil satu-dua kekalahan?
Dalam konteks pilkada, dengan mampu merayakan kekalahan, para kandidat semestinya juga bisa mengajak masyarakat untuk menyikapi hasil pemilihan itu sebagai realitas politik dan demokrasi. Politik ialah permainan panjang. Boleh saja kita kalah hari ini, tapi kita masih punya banyak babak mendatang untuk menunjukkan kemampuan.
Ada nasihat bijak yang rasanya perlu diresapi oleh seluruh peserta pilkada dan para pendukung mereka agar sanggup merayakan apa pun hasilnya nanti karena sesungguhnya pilkada ataupun pemilu diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. 'Pemilu ialah refleksi keinginan masyarakat pada suatu waktu tertentu. Mari dengarkan dan belajar dari kekalahan ini untuk memahami lebih baik kebutuhan dan aspirasi rakyat'.
Kendati demikian, kesanggupan untuk merayakan kekalahan juga bukan berarti menormalisasi pelanggaran, kecurangan, bahkan keculasan yang mungkin saja terjadi selama proses pilkada. Penerimaan atas kekalahan itu tetap harus disertai dengan catatan-catatan kritis terkait dengan penyelenggaraan, pengawasan, dan seluruh proses kontestasi yang telah.
Percayalah, catatan kritis dari orang yang sanggup merayakan kekalahan akan lebih dihargai dan dihormati ketimbang ketika catatan-catatan itu disampaikan oleh orang yang selalu ngotot mengingkari kekalahan. Jadi, terutama bagi pihak yang kalah, tak perlu ragu, mari rayakan juga kekalahan kita.