Ilustrasi pabrik petrokimia. Foto: dok Pupuk Kaltim.
Husen Miftahudin • 10 December 2024 22:05
Jakarta: Industri petrokimia mendapat tekanan besar akibat maraknya produk impor. Akibatnya, industri lokal berjuang keras untuk tetap kompetitif. Produk impor yang lebih murah menyebabkan harga produk lokal menjadi tidak bersaing.
"Di Asia Tenggara, salah satu pabrik petrokimia dari Thailand tutup akibat kalah saing dari produk impor Tiongkok. Keberpihakan pemerintah ke kita itu sangat-sangat kita harapkan. Kalau enggak, ya dilibas oleh Tiongkok dan mereka kelebihan produksi," kata Ketua Komisi Tetap Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hari Supriyadi, dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 10 Desember 2024.
Contoh lainnya ialah industri petrokimia Korea Selatan yang tengah menghadapi tekanan besar akibat kelebihan produksi plastik serbaguna di Tiongkok, sehingga hal ini mengganggu pasar domestik. Dampaknya, Lotte Chemical mulai mengurangi produksi dan mempersiapkan pembongkaran serta penjualan fasilitas pabrik.
Sementara itu, LG Chem Ltd menghentikan operasional pabrik stirena monomer. Sedangkan Hanwha Solutions Corp, menerbitkan obligasi untuk memperkuat keuangan.
Di dalam negeri, menurut Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), diperkirakan industri petrokimia menghadapi penurunan tingkat utilisasi pabrik hingga 50 persen. Potensi investasi senilai Rp437 triliun di sektor petrokimia juga terancam mandek akibat kekacauan pasar domestik, menambah tantangan bagi pemulihan ekonomi nasional.
Selain penetrasi barang impor, industri hulu petrokimia pun masih gamang merealisasikan investasi lantaran ketidakpastian kebijakan. Terdapat kebijakan yang diharapkan mampu menopang kinerja, antara lain insentif harga gas bumi hingga kepastian insentif fiskal berupa tax holiday yang belakangan belum disahkan secara resmi.
Baca juga: Kemenko PM Bentuk Satgas Impor Demi Selamatkan UMKM Lokal |