Pakar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini. Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez
Tri Subarkah • 19 January 2025 07:12
Jakarta: Pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, berpendapat bahwa presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden nol persen sebagaimana yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) lebih baik diakomodir lewat kodifikasi Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada.
Langkah itu dinilai lebih tepat ketimbang penyusunan Omnibus Law Politik yang direncanakan pembentuk UU, yakni DPR dan pemerintah. Apalagi, jika Omnibus Law Politik nanti mengadopsi penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja. Pasalnya, model omnibus law bakal menimbulkan kompleksitas baru bagi pengaturan pemilu di Tanah Air.
"Omnibus ala Cipta Kerja hanya melakukan perubahan pada sejumlah klausul pada UU yang substansinya saling berkaitan, tapi tanpa mencabut UU utama," jelas Titi kepada Media Indonesia, Sabtu, 18 Januari 2025.
Konsekuensinya, Titi menyebut banyak UU yang akhirnya harus dirujuk justru membuat publik atau orang awam menjadi susah memahami pengaturan tentang pemilu di Indonesia. Sebab, pengaturannya tidak sistematis dan terkonsolidasi dalam satu naskah.
Baca juga:
Presidential Threshold Dihapus, Pemerintah Segera Revisi UU Pemilu |