Ilustrasi. Foto: Freepik.
Insi Nantika Jelita • 2 July 2025 19:27
Jakarta: Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memprediksi penyelesaian negosiasi antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terkait penurunan tarif bea impor tidak akan berlangsung cepat. Menurutnya, proses tersebut berpotensi molor hingga akhir 2025.
Dia menyebut proses negosiasi kedua pihak akan berlangsung panjang hingga tercapai keputusan akhir. Menurutnya, kesepakatan yang akan dicapai bukan berupa win-win solution, melainkan keputusan yang membuat AS merasa tidak dirugikan.
"Negosiasi seperti ini tidak mungkin selesai dalam dua atau tiga bulan. Saya yakin prosesnya baru akan rampung pada kuartal ketiga atau keempat tahun 2025," ujar Tauhid dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, Rabu, 2 Juli 2025.
Tauhid menambahkan, konsekuensi dari lamanya proses ini adalah terjadinya masa jeda (lag time) bagi masing-masing industri untuk menyesuaikan pola perdagangan dan rantai pasok, termasuk dengan mitra dagang mereka. Dampak terbesar dari perubahan ini diperkirakan baru akan terasa di 2026.
Dia mencontohkan sektor otomotif, di mana produsen-produsen asal Tiongkok yang beroperasi di AS menghadapi tantangan besar akibat tarif tinggi, seperti sulitnya akses bahan baku. Dalam situasi tersebut, Tiongkok diperkirakan akan merespons dengan mengalihkan investasinya ke negara-negara yang menawarkan tarif lebih rendah, seperti Meksiko atau Vietnam.
Strategi ini memerlukan waktu dan persiapan yang cukup lama. Tauhid menekankan Indonesia pun akan terdampak dari pergeseran ini.
"Ketika pasar secara geografis semakin jauh, belum tentu produk kita tetap digunakan sebagai bagian dari rantai pasok global. Akan ada periode transisi dan dampak terbesar terjadi pada 2026," tegasnya.
Tauhid juga menuturkan, akibat tarif impor AS, di tahun depan juga akan menjadi tahun puncak dari berbagai dampak ekonomi makro, termasuk inflasi, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi (GDP) yang kemungkinan masih berada pada level rendah.
"Selain perubahan pola bisnis, ada dampak ekonomi makro. Puncak dampak ekonomi makro itu memang akan terjadi di 2026," ramal dia.
Oleh karena itu, menurut Tauhid, penting bagi Indonesia untuk mengantisipasi dampak lanjutan (second round effect) dengan menyiapkan berbagai skenario kebijakan.
"2026 akan menjadi tahun krusial. Masing-masing negara akan memasang kuda-kuda dan bersiap menghadapi berbagai kemungkinan," tutur Tauhid.
Baca juga: Mendag Akui RI Belum Ada Kesepakatan Tarif Impor dengan AS |