Ilustrasi industri baja. Foto: dok Krakatau Steel.
Eko Nordiansyah • 21 April 2025 08:41
Jakarta: Pasar komoditas kini berada di pusat perang dagang global yang semakin intensif, dengan eskalasi terbaru sebagian besar didorong oleh terpilihnya kembali Donald Trump dan ketegangan tarif AS-Tiongkok yang kembali muncul.
Dilansir dari Investing.com, RBC Capital Markets menilai cakupan potensi dampak di seluruh komoditas global dan ekuitas pertambangan. Temuan tersebut menggambarkan kehati-hatian tentang kerentanan sektoral jika perang dagang semakin dalam.
Menurut RBC, bahkan jika tarif dicabut sepenuhnya, skenario yang dianggap sangat tidak mungkin, kerusakan dari hubungan perdagangan yang rusak dan ketidakpastian yang meningkat akan tetap ada. Namun, realitas saat ini menunjukkan eskalasi yang berkelanjutan.
Kompleks komoditas global sudah bereaksi, dengan banyak harga turun dari level tertinggi baru-baru ini dan tekanan meningkat di seluruh struktur biaya.
Perusahaan pialang tersebut menggunakan kurva biaya industri sebagai tolok ukur untuk mengukur potensi penurunan, dengan data historis menunjukkan komoditas cenderung berada di sekitar persentil ke-90 dari kurva biaya.
Setiap pergerakan di bawah itu biasanya mendorong pengurangan produksi. Pada level spot saat ini, bijih besi harus turun 18 persen lagi untuk mencapai dukungan biayanya (USD80/t), tembaga bisa turun 24 persen (USD3,15/lb), dan aluminium sekitar 12 persen di atas dukungan pada USD1/lb.
RBC memperingatkan jika pasar mencapai level persentil ke-75 yang lebih parah, yang hanya terlihat 11 persen dari waktu secara historis, harga komoditas bisa turun tajam, tembaga sebesar 41 persen menjadi USD2,50/lb, bijih besi sebesar 34 persen menjadi USD64/t, dan aluminium sebesar 17 persen menjadi sekitar USD0,90/lb.
Baca juga:
Trump Bidik Tiongkok Jadi Target Utama Perang Dagang, Ini Alasannya |