Ketua Yayasan Vanita Naraya, Diah Pitaloka
Al Abrar • 26 February 2025 17:49
Jakarta: Keberadaan perempuan dalam parlemen semakin menunjukkan peran strategis dalam memperjuangkan kebijakan yang inklusif dan berkeadilan. Ketua Yayasan Vanita Naraya, Diah Pitaloka, menegaskan bahwa perempuan di parlemen bukan sekadar pelengkap, tetapi memiliki posisi taktis dalam penyusunan kebijakan, politik anggaran, hingga isu ketahanan negara.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Women, Peace and Security di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025, Diah menyoroti pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik anggaran. Menurutnya, keseimbangan dalam alokasi anggaran negara harus mempertimbangkan perspektif kelompok afirmatif seperti perempuan dan penyandang disabilitas.
"Hari ini publik semakin sadar tentang pentingnya proporsi anggaran negara yang adil. Ini menunjukkan betapa pentingnya representasi perempuan dalam parlemen," ujar Diah.
Ia optimistis bahwa perjuangan politik perempuan selalu berorientasi pada keadilan. "Saya percaya perempuan punya peran sentral dalam demokrasi hari ini. Semoga kita bisa terus berkolaborasi dalam membangun perjuangan keadilan yang lebih luas untuk negara ini," tambahnya.
Anggota DPD RI, Badikenita Putri Sitepu, menegaskan bahwa keterlibatan perempuan dalam parlemen tidak boleh hanya terpaku pada kuota 30 persen. Ia menilai perempuan harus berperan sebagai penyeimbang dalam pengambilan kebijakan.
"Kita harus menghilangkan mindset bahwa perempuan hanya diberi 30 persen porsi. Sebaliknya, kita harus menekankan pentingnya keseimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam politik," ujarnya.
Badikenita juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas perempuan di parlemen agar siap menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam kebijakan keamanan dan pertahanan.
"Kita harus mengisi diri dengan ilmu dan pengalaman, sehingga ketika berhadapan dengan isu-isu besar seperti konflik atau hukum, kita bisa memberikan pandangan yang matang dan berbobot," katanya.
Sementara itu, Kepala Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45), Jaleswari Pramodhawardani, menyoroti bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam upaya perdamaian, tetapi sering kali dikecualikan dalam proses formal.
“Ada paradoks dalam resolusi konflik, di mana perempuan menjadi salah satu kelompok sipil yang paling terdampak, tetapi peran mereka sering kali dikecualikan dalam proses formal,” ujarnya.
Jaleswari menjelaskan bahwa konflik memiliki dimensi gender yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan, terutama dalam akses terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya lensa gender dalam proses perundingan damai.
“Perempuan memiliki kemampuan mengintegrasikan isu-isu esensial seperti pendidikan, kesehatan, dan hak asasi manusia dalam perdamaian,” katanya.
Ia pun mengajak seluruh pihak untuk memperkuat partisipasi perempuan dalam perdamaian di tingkat lokal hingga internasional.
“Kita harus bergerak dari sekadar rencana ke aksi nyata. Regulasi, kebijakan pemerintah, dan dukungan masyarakat sipil harus berjalan seiring untuk memastikan bahwa perempuan benar-benar memiliki ruang dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan,” pungkasnya.