Bahaya Sound Horeg Bisa Picu Tuli Permanen, Warga Diimbau Waspada

Tangkapan layar video unggahan akun Facebook bernama Reffa Rizky di grup publik 'Keluh Kesah Hidup Kehidupan Berteknologi 4.0 (K3BT)'.

Bahaya Sound Horeg Bisa Picu Tuli Permanen, Warga Diimbau Waspada

Daviq Umar Al Faruq • 23 July 2025 12:55

Malang: Tren penggunaan sound horeg, atau sound system berukuran besar dan bertenaga tinggi, yang menghasilkan suara sangat keras dan bergetar, di tengah masyarakat, terutama dalam berbagai hajatan atau event musik, dinilai berisiko tinggi terhadap kesehatan pendengaran. 

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB), dr Meyrna Heryaning Putri, mengingatkan bahwa paparan suara dengan intensitas tinggi, seperti dari sound horeg, dapat menimbulkan kerusakan pada organ telinga, bahkan menyebabkan tuli permanen.

“Sound horeg dapat membuat pendengaran tidak optimal, merusak pendengaran, bahkan hingga menyebabkan tuli akibat masalah saraf. Telinga memiliki batas aman dalam menerima suara, yakni 85 desibel (dB) selama 8 jam. Jika melebihi, toleransi lama dengarnya terus menurun seiring naiknya intensitas suara,” kata dr Meyrna, Rabu 23 Juli 2025.

Menurutnya, paparan suara dengan intensitas 85 dB selama 8 jam masih bisa ditoleransi. Namun, setiap kenaikan 3 dB akan memangkas setengah dari durasi toleransi. Misalnya, pada 88 dB, toleransi tinggal 4 jam, dan di 91 dB hanya 2 jam.

“Dalam waktu singkat, volume suara 140 dB dapat menyebabkan kerusakan fatal. Tidak hanya saraf, tapi bisa memorak-porandakan gendang telinga, tulang-tulang pendengaran, dan semua komponen di telinga, termasuk merusak rumah siput,” jelas Meyrna.

Kerusakan telinga akibat paparan suara ekstrem ini tidak hanya menimbulkan gangguan pendengaran (hearing problem), tetapi juga berdampak pada kualitas hidup seseorang secara sosial dan psikologis. Tanda awal biasanya berupa telinga terasa penuh atau berdenging. 

Gejala itu disebut temporary threshold shift atau pergeseran ambang dengar sementara. Bila dibiarkan terus menerus, bisa berlanjut menjadi kehilangan pendengaran permanen dengan berbagai tingkat keparahan.

“Semakin keras dan lama kita mendengarkan musik, maka semakin besar risiko gangguan pendengaran yang akan diderita masing-masing individu,” ujar dokter spesialis THT yang juga ahli Neurotologi ini.
 

Baca: Sound Horeg Tuai Pro-Kontra, Ini Asal Usul dan Kontroversinya

Sebagai upaya pencegahan, ia menyarankan masyarakat untuk menghindari paparan suara keras, terutama dari sound horeg. Jika tidak memungkinkan, bisa menggunakan pelindung telinga seperti earplug, earmuff, atau earmelt. 

Ia juga mengingatkan bahwa kelompok usia rentan seperti anak-anak, bayi, lansia, serta orang dengan kondisi telinga tidak normal lebih berisiko mengalami kerusakan.

Meski berbahaya, Meyrna mengakui bahwa fenomena sound horeg terus berkembang dan bahkan dianggap bagian dari budaya.

“Perasaan memiliki budaya mengantarkan pada pemahaman bahwa sound horeg bukan sesuatu yang salah, milik kita, dan harus dilestarikan, meskipun bahayanya sangat tinggi,” ujar Meyrna.

Ia menegaskan bahwa menikmati musik bukan hal yang salah, namun harus dilakukan secara bijak dengan memperhatikan batas aman pendengaran. Edukasi kepada masyarakat, menurutnya, tidak harus datang dari tenaga medis semata.

“Memberikan edukasi kepada masyarakat merupakan tugas kita bersama. Tidak perlu punya gelar atau jabatan. Siapa pun bisa mengedukasi, asalkan paham apa yang disampaikan dan dampaknya,” ujar Meyrna.

Sebelumnya diberitakan, seorang warga Kabupaten Blitar, Jawa Timur, menyoroti dampak kebisingan sound horeg, atau sound system berukuran besar dan bertenaga tinggi, yang menghasilkan suara sangat keras dan bergetar, dari event tahunan yang digelar di kawasan permukiman. Dampak kebisingan itu disampaikan oleh warga tersebut lewat sebuah unggahan hingga viral di media sosial.

Sorotan itu awalnya diunggah oleh akun Facebook bernama Reffa Rizky di grup publik 'Keluh Kesah Hidup Kehidupan Berteknologi 4.0 (K3BT)'. Dalam unggahan tersebut terdapat sebuah video dan sebuah foto tabel, terkait tingkat kebisingan ekstrem yang dihasilkan oleh sound horeg.

"Untuk video saya itu diambil di Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar, tanggal 19 Juli 2025 kemarin. Saya tidak pro atau kontra, karena saya iseng ingin membuktikan seberapa besar suara yang dihasilkan dari sound itu sendiri," kata Reffa saat dihubungi Metrotvnews.com, Rabu 23 Juli 2025.

Dalam video berdurasi 14 detik itu, terlihat seorang pria menggunakan aplikasi DBmeter di ponselnya untuk mengukur tingkat kebisingan saat acara berlangsung. Hasilnya menunjukkan angka 130 desibel (dB) dengan parameter dB-C yang konsisten. 

“Iseng-iseng coba download APK di Appstore tentang DBmeter, entah ini akurat atau tidak, yang jelas jarumnya sudah menunjukan 130 dB dengan parameter dB-C. Mumpung depan rumah dilewati event tahunan, ya mau bagaimana lagi suka nggak suka tetap dilewati," tulis Reffa dalam unggahannya.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur resmi mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg. Fatwa ini diterbitkan sebagai respons atas maraknya praktik sound horeg yang belakangan memicu kontroversi hingga keluhan warga di sejumlah daerah. 

Penggunaan sound horeg yang melebihi ambang batas wajar, menimbulkan kebisingan ekstrem, hingga mengganggu kenyamanan, kesehatan, atau bahkan merusak fasilitas umum, dinyatakan haram. 

Hal ini juga berlaku jika di dalam kegiatan sound horeg terdapat unsur kemaksiatan seperti joget campur laki-laki dan perempuan, membuka aurat, atau hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat Islam.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Al Abrar)