Pakar Hukum dan Kriminolog UB Malang, Dr Prija Djatmika. Metrotvnews.com/ Daviq Umar Alfaruq
Daviq Umar Al Faruq • 26 July 2025 20:09
Malang: Polemik penggunaan sound horeg dalam kegiatan masyarakat kembali mencuat. Kebisingan yang ditimbulkan dinilai semakin meresahkan terutama saat karnaval dan hiburan rakyat lainnya. Sorotan kini datang dari kalangan akademisi.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang, Prija Djatmika, mengatakan bila mengganggu ketertiban umum dan kenyamanan warga, sound horeg bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
"Fenomena ini sebenarnya kompleks dan menyentuh banyak aspek. Ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan secara ekonomi, misalnya penyedia jasa sound system atau panitia acara. Tapi di sisi lain, dampaknya terhadap masyarakat sekitar tidak bisa dianggap sepele. Apalagi jika sampai mengganggu warga yang sedang sakit, orang tua, anak kecil, atau bahkan keluarga yang tengah berduka," kata Prija saat dihubungi melalui sambungan telepon, Sabtu, 26 Juli 2025.
Ia menilai langkah Polda Jawa Timur yang mengimbau pembatasan penggunaan sound horeg dalam kegiatan masyarakat sudah tepat. Menurutnya hal ini sejalan dengan prinsip dasar penegakan hukum untuk menjaga ketertiban umum.
"Ketika kegiatan hiburan atau budaya justru menimbulkan kegaduhan, kericuhan, atau mengganggu hak-hak warga lainnya, maka negara melalui aparat penegak hukum wajib hadir. Tidak bisa hanya beralasan 'sudah tradisi' atau 'sudah biasa', lalu dibiarkan terus terjadi," jelas Prija.
Prija menyebut aturan hukum yang mengatur penggunaan perangkat suara sebenarnya sudah cukup jelas, mulai dari level Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Wali Kota (Perwali), hingga Peraturan Bupati (Perbup). Namun, lemahnya implementasi dan pengawasan membuat pelanggaran terus berulang.
“Ini bukan kekosongan hukum. Aturannya ada, jelas, dan terukur. Yang lemah adalah implementasinya. Kadang aparat di lapangan menghadapi dilema karena adanya tekanan dari massa atau panitia. Tapi hukum tidak boleh kalah oleh tekanan sosial,” ungkap Prija.
Prija bahkan menyebut Pasal 503 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan untuk menindak pelaku yang menyebabkan gangguan terhadap ketertiban umum.
“Bukan hanya panitia acara, bahkan penyewa dan penyedia jasa sound system pun bisa dikenai sanksi. Semuanya tergantung pada tingkat gangguan yang ditimbulkan dan unsur hukum yang terpenuhi. Jadi, aparat punya cukup dasar hukum untuk bertindak. Sekali lagi, jangan sampai hukum tunduk pada tekanan massa,” ujar Prija.
Prija kembali mengingatkan jika dibiarkan tanpa pengawasan, penggunaan sound horeg berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat.
“Bisa saja muncul gesekan antar warga, antara kelompok pendukung acara dengan masyarakat yang terganggu. Bahkan dalam beberapa kasus, muncul aksi balasan dari warga yang kesal. Ini yang harus dicegah sejak awal,” ujar Prija.