Ilustrasi. Foto: Dok istimewa
Naufal Zuhdi • 2 October 2025 14:31
Jakarta: Aktivitas manufaktur Indonesia pada September 2025 memang masih mencatat ekspansi tipis. Indeks PMI manufaktur S&P Global berada di level 50,4 atau turun dari 51,5 pada Agustus.
Merespons hal itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia menyampaikan angka tersebut menandakan sektor manufaktur belum sepenuhnya stabil dengan indikasi pesanan baru masih meningkat, tetapi volume produksi kembali melemah karena perusahaan melaporkan daya beli pelanggan yang menurun.
"Temuan ini sejalan dengan indikator lain, khususnya survei Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus yang turun ke 117,2 dari 118,1 pada Juli," kata Shinta dikutip Kamis, 2 Oktober 2025.
Data IKK (Agustus 2025), sambung Shinta, memberikan gambaran lebih rinci, yakni keyakinan konsumen terhadap kondisi penghasilan turun 2,4 poin menjadi 116,9. Koreksi ini, beriringan dengan penurunan pada komponen pembelian barang tahan lama (turun 1,5 poin ke 105,1) yang menandakan kecenderungan konsumen menunda konsumsi besar di tengah ketidakpastian ekonomi.
Sementara itu, persepsi terhadap ketersediaan lapangan kerja juga turun 2,1 poin menjadi 93,2 sehingga kembali masuk ke zona pesimisme (<100). Penurunan paling tajam terjadi di kelompok menengah-bawah.
"Data ini memperlihatkan pelemahan daya beli terutama saat ini dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja. Jadi, apa yang dilaporkan S&P Global soal lemahnya daya beli memang konsisten dengan survei konsumen domestik (IKK)," beber Shinta.
Namun, lanjut dia, Apindo melihat PMI bersifat data bulanan dan lebih berperan sebagai early indicator. Untuk memahami akar persoalan, ia menyebut juga perlu melihat tren tahunan dan melakukan benchmarking dengan negara manufaktur lain di kawasan.
"Jika dibandingkan, tantangan Indonesia tidak hanya di sisi permintaan, tetapi juga aspek struktural yaitu biaya usaha yang tinggi. Ini membuat daya saing manufaktur kita sering tertinggal dari negara tetangga," cetusnya.