safriady, pemerhati isu strategis. Foto: Dok/Pribadi
Oleh: Safriady*
Di tengah dinamika geopolitik yang kian bergejolak, polemik yang muncul dari pembangunan fasilitas militer TNI AL khususnya Marinir di Grati, Pasuruan, menjadi titik refleksi penting bagi arah transformasi pertahanan Indonesia. Konflik antara masyarakat dan institusi militer yang terjadi beberapa tahun terakhir di wilayah tersebut bukan hanya perkara sengketa lahan atau mispersepsi administratif, tetapi menyingkap persoalan yang lebih besar yaitu bagaimana Indonesia menata ulang postur pertahanan nasional di era perubahan sistem keamanan global.
Grati telah lama menjadi salah satu basis latihan Marinir, terutama sejak keberadaan Danau Ranu Grati dimanfaatkan TNI AL sebagai wahana latihan tempur air, penerjunan, dan uji coba alutsista. Catatan arsip pertanahan menunjukkan bahwa sejumlah bidang di kawasan tersebut telah dinyatakan sebagai aset negara yang status pengelolaannya berada pada Kementerian Pertahanan/TNI. Itu berarti wilayah ini memiliki nilai strategis jangka panjang bagi keberlangsungan operasi Marinir yang membutuhkan akses lahan luas, perairan tenang, serta ruang simulasi peperangan yang sulit digantikan.
Namun, gesekan yang terjadi antara masyarakat sekitar dengan TNI dalam beberapa episode insiden menunjukkan adanya gap komunikasi, ketidaksinkronan informasi aset, serta ketidakmerataan pengetahuan publik mengenai status tanah negara yang sudah ditetapkan sejak era sebelumnya. Di sinilah problem fundamental mengemuka tentang transparansi aset pertahanan belum sepenuhnya menjadi bagian dari tata kelola yang adaptif, padahal kebutuhan akan legitimasi publik terhadap pembangunan militer semakin krusial di tengah ancaman modern.
Marinir dan Relevansi Strategis di Era Ancaman Baru
Perubahan lanskap pertahanan global menempatkan Korps Marinir sebagai salah satu unsur yang paling adaptif terhadap perkembangan ancaman. Sejak dekade 2010-an, banyak negara mulai menggeser postur pasukan amfibi ke konsep maritim-expeditionary forces yang tidak hanya bertugas pada operasi pendaratan, tetapi juga menjaga choke points, mengamankan infrastruktur kritis maritim, mengantisipasi serangan drone laut, serta menghadapi skenario
grey-zone conflict.
Indonesia berada di jalur yang sama. Dengan 70% wilayah berupa laut dan jalur strategis ALKI sebagai titik lalu lintas perdagangan global, Marinir menjadi salah satu pilar dalam menjaga kedaulatan maritim. Dalam konteks ini, kawasan latihan seperti Grati bukan sekadar area operasional, tetapi bagian dari arsitektur pertahanan jangka panjang yang disiapkan menghadapi ancaman asimetris, serangan siber-terintegrasi, hingga infiltrasi maritim skala kecil.
Transformasi pertahanan Indonesia dari Minimum Essential Force (MEF) ke konsep Ongoing Essential Force (OEF), sebagaimana dirumuskan dalam visi pertahanan 2030, juga memperluas mandat Marinir. OEF menekankan kesiapan berkelanjutan, penataan ulang komando wilayah, modernisasi alutsista presisi, serta pembangunan pangkalan yang lebih tersebar dan luwes. Dalam kerangka ini, fasilitas seperti Grati memiliki signifikansi strategis sebagai laboratorium taktis dan ruang eksperimen operasi maritim masa depan.
Perluasan Basis Tanpa Mengabaikan Kepentingan Warga
Meski demikian, pembangunan fasilitas pertahanan di kawasan strategis harus dijalankan dengan tata kelola yang akuntabel. Konflik lahan di Grati memperlihatkan bahwa modernisasi militer tidak boleh berjalan secara sepihak, publik berhak memahami status hukum aset, rencana jangka panjang, serta dampak sosial-ekonomi yang menyertainya. Di banyak negara, keterlibatan masyarakat menjadi bagian penting dari proses pembaruan pangkalan militer, bukan hanya karena alasan legitimasi, tetapi juga untuk memastikan pembangunan tidak menciptakan ketidakadilan baru.
Dalam konteks Grati, sejumlah faktor memicu ketegangan mulai dari perbedaan persepsi status lahan, ketidakseragaman peta agrarian, klaim kepemilikan atas tanah yang sudah lama ditempati warga, serta kurangnya saluran komunikasi formal yang menjamin kepastian hak-hak sipil. Situasi ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan integrasi data pertanahan yang lebih akurat, terbuka, dan dapat diakses.
Transparansi bukan hanya mencegah konflik, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan. Tanah negara yang digunakan untuk kepentingan strategis seharusnya diumumkan secara jelas, diperkuat dengan legalitas aset, serta dipublikasikan melalui peta digital yang mudah diakses. Dengan demikian, pemerintah dapat menunjukkan bahwa setiap pembangunan pangkalan adalah investasinya untuk keamanan bersama, bukan tindakan eksklusif yang tidak mempertimbangkan warga sekitar.
Grati sebagai Representasi Tantangan Sistem Pertahanan Nasional
Polemik Grati sebenarnya mencerminkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam membangun sistem pertahanan baru. Setidaknya ada tiga dimensi yang relevan antara lain; Pertama, penataan aset strategis di era geopolitik baru. Ketika ancaman menjadi semakin multidimensi mulai dari agresi konvensional, keamanan siber, perubahan iklim, hingga kompetisi kekuatan besar Indonesia perlu menata ulang sebaran pangkalan militer agar lebih fleksibel dan responsif. Kawasan yang memiliki kombinasi darat-air seperti Grati menjadi sangat bernilai karena mampu mendukung latihan gabungan, pengujian drone laut/udara, serta integrasi sistem senjata baru. Namun, jika penataan ini tidak diikuti dengan kepastian aset, maka proses modernisasi akan mudah dipolitisasi atau diprovokasi oleh pihak-pihak yang memanfaatkan ketidakpastian tersebut.
Kedua, profesionalisme militer berbasis tata kelola baik. Ketika negara demokratis memperkuat militernya, norma akuntabilitas harus berjalan seiring. TNI sebagai institusi nasional memiliki kewajiban memperkuat sistem komunikasi publik, mulai dari pemberitahuan proyek strategis hingga konsultasi sosial. Dengan demikian, modernisasi alutsista dan pangkalan bukan hanya meningkatkan deterrence, tetapi juga memperkuat hubungan militer–warga negara.
Ketiga, kesiapan menghadapi polarisasi keamanan global. Perubahan peta kekuatan dunia ketegangan di Laut Cina Selatan, persaingan AS-Tiongkok, serta tren remiliterisasi kawasan Asia Pasifik, menuntut Indonesia menata ulang strategi maritimnya. Marinir memegang peran penting dalam menjaga stabilitas di wilayah perbatasan, infrastruktur pelabuhan strategis, hingga titik kepentingan vital seperti Natuna dan Selat Malaka. Pembangunan fasilitas pelatihan yang memadai, termasuk penyediaan area eksperimen dan simulasi, merupakan prasyarat utama agar Marinir siap menghadapi lingkungan operasi yang semakin kompleks.
Menata Kembali Relasi Militer, Negara, dan Warga
Ke depan, Grati dapat menjadi contoh positif jika pemerintah dan TNI mampu menata ulang relasi dengan masyarakat melalui sejumlah langkah konkret: Pertama, klarifikasi publik mengenai status aset negara berbasis data resmi. Publik berhak mengetahui peta digital, sertifikat aset, dan legalitas lahan yang digunakan untuk kepentingan strategis. Kedua, membangun forum komunikasi tetap antara perwakilan warga dan TNI. Setiap proyek pembangunan militer harus memiliki dialog sosial agar tidak menimbulkan kesan tertutup.
Ketiga, mengadopsi standar internasional tata kelola pangkalan militer. Termasuk praktik mitigasi dampak sosial, manajemen relokasi yang manusiawi, dan kompensasi sesuai aturan agraria. Keempat, mengintegrasikan pertahanan dengan pembangunan wilayah. Keberadaan pangkalan seharusnya membawa multiplier effect ekonomi bagi daerah, seperti peningkatan infrastruktur, peluang kerja, dan sektor pendukung.
Membangun Pertahanan yang Modern dan Legitimit
Pada akhirnya, polemik Grati bukan semata sengketa lahan, Grati adalah laboratorium kecil dari tantangan besar Indonesia dalam merapikan sistem pertahanan nasional di tengah dinamika geopolitik global. Ketika korps Marinir membutuhkan ruang latihan profesional, negara harus memastikan asetnya steril dan tertib. Di sisi lain, warga yang telah lama tinggal tidak boleh dipinggirkan tanpa solusi.
Ketika dunia memasuki era keamanan baru yang penuh ketidakpastian, Indonesia perlu menghindari jebakan dikotomi antara pembangunan militer dan kepentingan masyarakat. Keduanya bukan sesuatu yang harus dipertentangkan; keduanya bisa berjalan harmonis jika negara mampu menegakkan tata kelola yang adil, terbuka, dan berbasis data.
Grati bisa menjadi model untuk itu sebuah contoh bahwa modernisasi pertahanan bukan sekadar soal kekuatan senjata, tetapi juga kekuatan legitimasi. Dan legitimasi itu hanya lahir ketika negara dan warga berdiri pada landasan informasi yang jelas, kepastian hukum yang tegas, serta tujuan bersama untuk menjaga Indonesia tetap aman dalam peta keamanan global yang terus berubah.
*Penulis adalah pemerhati isu strategis