Dari Jakarta ke New York, Presiden Prabowo Membangun Narasi Global

Presiden Prabowo Subianto/Istimewa

Dari Jakarta ke New York, Presiden Prabowo Membangun Narasi Global

21 September 2025 19:24

Oleh: Kennorton Hutasoit*

New York: Sore itu, mobil kepresidenan berhenti di depan sebuah hotel di Manhattan. Presiden Prabowo Subianto turun, disambut tepuk tangan meriah dan teriakan “Indonesia! Indonesia!” dari ratusan diaspora. Dengan senyum hangat, Presiden menyalami warga satu per satu, bahkan mencium kepala dua anak kecil diaspora yang mengenakan pakaian adat. Momen itu menjadi potret humanis seorang presiden yang selama ini identik dengan ketegasan. Sorak-sorai itu bukan sekadar seremoni; ia adalah cerminan harapan diaspora agar suara Indonesia terdengar lantang di panggung dunia.

Kehadiran Prabowo di New York bukan sekadar kunjungan biasa. Dari Bandara John F. Kennedy, ia langsung menuju hotel, didampingi Menteri Luar Negeri Sugiono dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya. Dalam keterangannya, Teddy menegaskan bahwa Presiden akan berpidato pada urutan ketiga dalam Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB ke-80, Selasa 23 September 2025, setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat.

Tema pidato, menurut Teddy, akan menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin Global South dan menyerukan reformasi tata kelola dunia yang lebih adil dan inklusif. Sidang Majelis Umum tahun ini menjadi momentum penting bagi Indonesia, untuk kembali tampil di level tertinggi forum PBB, sekaligus menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin Global South.

Momen ini adalah realitas politik yang layak dianalisis: seorang presiden baru satu tahun menjabat, tampil di forum global paling prestisius, membawa pesan bahwa Indonesia bukan sekadar peserta, tetapi aktor penting. Ontologinya adalah bagaimana seorang kepala negara mengonstruksi makna kepemimpinan melalui komunikasi — baik verbal, simbolik, maupun gestural. Objeknya adalah pidato, interaksi dengan diaspora, hingga simbol yang dipilih. Semua ini membuka ruang bagi publik untuk membaca performa komunikatif Prabowo secara mendalam.

Asta Cita sebagai Peta Jalan Narasi

Kehadiran Prabowo di PBB sejalan dengan Asta Cita delapan jalur strategis pemerintahan. Setiap poin dapat diterjemahkan menjadi pesan yang relevan di forum internasional sehingga publik global memahami arah pembangunan Indonesia.

Pertama, memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM. Pidato PBB adalah kesempatan menegaskan komitmen Indonesia pada demokrasi inklusif, sekaligus merespons kritik terhadap kebebasan sipil di dalam negeri.

Kedua, memantapkan sistem pertahanan dan kemandirian bangsa. Prabowo dapat mengangkat kedaulatan pangan, energi, dan air sebagai isu global, mengajak kerja sama untuk menjaga ketahanan dunia.

Ketiga, menciptakan lapangan kerja dan infrastruktur. Diplomasi ekonomi membuka peluang investasi yang akan mendukung penciptaan lapangan kerja berkualitas di dalam negeri.

Keempat, memperkuat SDM, pendidikan, dan kesehatan. Program makan bergizi gratis (MBG) dan sekolah rakyat dapat diproyeksikan sebagai model inovasi sosial yang mampu memutus rantai kemiskinan. Program MBG ini juga menjadi perhatian presiden atau kepala negara yang bertemu dengan Presiden Prabowo.

Kelima, melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi. Indonesia bisa menonjolkan perannya sebagai pemasok strategis bahan baku industri hijau dan kendaraan listrik, sambil mengundang investasi hilirisasi.
 

Baca: Jajaran Menteri Kabinet Dampingi Presiden Prabowo ke Sidang PBB

Keenam, membangun dari desa. Dengan membawa narasi pembangunan dari pinggiran, Prabowo dapat menunjukkan komitmen pemerataan yang inklusif.

Ketujuh, reformasi politik, hukum, dan birokrasi. Ini memperkuat pesan bahwa Indonesia menjaga tata kelola yang bersih dan transparan, penting untuk membangun kepercayaan global.

Kedelapan, harmoni lingkungan dan toleransi. Indonesia dapat menampilkan diri sebagai pemimpin dalam mitigasi perubahan iklim dan promotor dialog antarperadaban.

Mengaitkan Asta Cita dengan panggung PBB memperkuat legitimasi program domestik. Masyarakat akan melihat bahwa janji kampanye memiliki resonansi global, bukan hanya untuk konsumsi dalam negeri.

Melalui lensa komunikasi organisasi ala Pacanowsky & O’Donnell, performa Presiden Prabowo tampak pada lima dimensi. Pertama, pada dimensi ritual, Prabowo aktif hadir dalam acara kenegaraan dan forum internasional. Kehadiran di PBB memperkuat citra presiden yang siap tampil di level dunia, meski berbeda dari gaya blusukan Jokowi yang lebih kasual.

Kedua, pada dimensi hasrat, Presiden menekankan narasi kedaulatan pangan, energi, dan ketahanan nasional. Namun, capaian program masih bertahap — program MBG baru menjangkau sekitar 40% sekolah. Pidato PBB dapat menjadi panggung untuk meyakinkan publik bahwa implementasi akan dipercepat.

Ketiga, pada dimensi sosial, hubungan dengan koalisi partai besar terjaga, dan sambutan diaspora di New York menunjukkan komunikasi emosionalnya efektif.

Keempat, pada dimensi politis, reshuffle kabinet jilid 3 pasca demonstrasi besar akhir Agustus 2025 menjadi bukti respons cepat pemerintah. Namun, narasi keras terhadap aksi protes perlu diseimbangkan dengan pesan dialogis agar reputasi demokrasi tetap terjaga.

Kelima, pada dimensi enkulturasi, Prabowo memanfaatkan simbol nasionalisme: dari pakaian adat yang dikenakan anak diaspora hingga yel-yel “Indonesia!” yang membangun rasa bangga kolektif.

Presiden Prabowo dan Pemimpin Dunia

Untuk membaca gaya komunikatif Prabowo, menarik membandingkannya dengan pemimpin dunia lain. Donald Trump dikenal dengan gaya konfrontatif dan penggunaan media sosial yang agresif untuk menggerakkan basis pendukungnya. Emmanuel Macron, sebaliknya, menampilkan komunikasi diplomatik yang elegan dan teknokratik.

Prabowo berada di antara keduanya. Ia tegas seperti Trump, tetapi tetap mempertahankan simbol kenegaraan formal ala Macron. Dalam konteks Indonesia yang multikultural, gaya komunikasinya harus hati-hati agar ketegasan tidak memicu polarisasi, tetapi tetap memberi rasa kepemimpinan yang kuat. Di sinilah keunikan gaya komunikatif Prabowo: memadukan ketegasan militeristik dengan sentuhan humanis, seperti saat menyapa diaspora di New York.

Perbandingan ini menjadi semakin relevan karena Prabowo akan berpidato tepat setelah Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, yang dikenal dengan gaya komunikasinya yang populis dan empatik. Lula menggunakan bahasa yang membumi, mengangkat isu ketimpangan global, keadilan sosial, dan lingkungan hidup. Dalam beberapa kesempatan, Lula menyuarakan kepentingan Global South dengan tegas, menolak subordinasi negara berkembang terhadap negara maju.

Prabowo sendiri sudah pernah bertemu Lula pada awal masa pemerintahannya untuk membahas kerja sama pertanian dan perdagangan. Pertemuan itu menjadi pembelajaran diplomatik yang penting: Prabowo melihat bagaimana Lula memadukan retorika emosional dengan diplomasi konkret. Jika gaya Lula yang hangat dan inklusif disandingkan dengan ketegasan Prabowo, ini bisa menjadi harmoni yang kuat, dua pemimpin Global South.

Bidang hubungan internasional (IR) sedang mengalami pergeseran besar. Para pemikir seperti Amitav Acharya mengkritik dominasi teori Barat dan mendorong pendekatan Global IR — IR yang lebih inklusif, plural, dan menghormati pengalaman Global South. Global IR memiliki enam dimensi: pluralistic universalism, grounded in world history, melengkapi teori IR klasik, menempatkan kawasan sebagai inti, menolak exceptionalism, dan mengakui ide serta agensi material.

Prabowo dapat memanfaatkan momentum pidato PBB untuk menegaskan narasi Indonesia sebagai pemimpin Global South. Inilah wujud post-Western IR: bukan menolak tatanan dunia, tetapi mendesak agar tata kelola global lebih adil dan inklusif. Di tengah dunia yang disebut Acharya sebagai multiplex world order, ibarat bioskop dengan banyak layar dan sutradara, Indonesia kini dapat menayangkan “filmnya sendiri”.

Dengan mengaitkan Asta Cita pada konteks global, Prabowo bisa menunjukkan bahwa pembangunan dari desa, kedaulatan pangan, hilirisasi industri, dan harmonisasi antaragama bukan hanya isu domestik, melainkan kontribusi nyata bagi stabilitas dunia. Narasi ini memperluas peran Indonesia dari sekadar negara berkembang menjadi agenda-setter global.

Pendekatan ini juga menjawab kritik Western centrism dalam IR. Pidato Prabowo bisa menjadi pernyataan simbolik bahwa Indonesia, bersama negara Global South lainnya, siap menjadi sutradara alternatif dalam tatanan dunia multipolar, bukan sekadar penonton dari skenario yang ditulis oleh Washington, Beijing, atau Brussel.

Kekuatan kerangka Global IR ada pada kemampuannya memberi legitimasi akademik bagi posisi Indonesia sebagai juru bicara Global South. Namun, tantangannya adalah menjembatani narasi global dengan realitas domestik. Publik akan menilai apakah janji di forum dunia sejalan dengan implementasi program dalam negeri, dari MBG hingga listrik desa tenaga surya.

Artikel ini menawarkan sebuah model komunikasi presiden hibrid adaptif, yang menggabungkan komunikasi koersif-simbolik saat krisis, partisipatif-dialogis dalam kebijakan kesejahteraan, digital-orkestratif untuk mengelola percakapan publik, dan kontekstual-lokal dengan simbol budaya. Model ini penting agar komunikasi presiden semakin efektif dengan beberapa langkah dapat dipertimbangkan yakni: Pertama, mengorkestrasi narasi global sehingga pidato PBB terasa relevan bagi publik domestik.

Kedua, memperkuat mekanisme public listening dengan melibatkan diaspora dan kelompok masyarakat sipil. Ketiga, menjaga konsistensi pesan antar-kementerian agar tidak terjadi disonansi komunikasi. Keempat, memastikan retorika selalu diiringi realisasi kebijakan, agar kepercayaan publik tidak terkikis. Kelima, memanfaatkan media digital dan storytelling visual untuk menyebarkan isi pidato dalam format yang mudah dipahami.

Tahun pertama pemerintahan Prabowo menunjukkan komunikasi yang tegas, simbolik, dan responsif terhadap krisis. Kehadiran di New York dan pidato ketiga di Sidang Majelis Umum PBB adalah ujian apakah Presiden mampu mengangkat narasi domestik menjadi visi global yang inspiratif. Dengan kerangka Global IR, Prabowo berkesempatan menempatkan Indonesia sebagai sutradara dalam tatanan dunia baru, sebuah multiplex world order.

Jika ia berhasil, momentum ini bisa memperkuat legitimasi pemerintah, menjaga stabilitas politik, dan menjawab ekspektasi publik bahwa janji kampanye bukan sekadar slogan, tetapi jalan menuju kesejahteraan bersama. Tahun kedua akan menjadi pembuktian apakah komunikasi pemerintah mampu menjembatani visi global dengan realitas lokal, dan menjadikan Indonesia bukan hanya hadir di panggung dunia, tetapi juga ikut menentukan jalan cerita masa depan peradaban global.


*Penulis adalah Jurnalis Senior Metro TV dan Doktor Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Komunikasi Politik)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)