Presiden Tiongkok Xi Ji Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu di peringatan 80 tahun perlawanan. Foto: Xinhua
Harianty • 6 October 2025 13:16
Perayaan 80 Tahun Kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok melawan agresi Jepang baru-baru ini bukan sekadar seremoni sejarah. Namun telah berubah menjadi panggung politik global, memperlihatkan semakin eratnya poros Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara.
Pada 3 September 2025 di Lapangan Tiananmen, Beijing, para pemimpin Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara tampil bersama dalam satu bingkai. Itu bukan sekadar foto bersama, melainkan momen besar di panggung internasional memperingati 80 tahun kemenangan perang melawan Jepang.
Presiden Rusia Vladimir Putin, Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un, dan Presiden Tiongkok Xi Jinping duduk berdampingan. Begitu gambar itu muncul, langsung memicu perbincangan hangat di seluruh dunia.
Secara historis, perayaan kemenangan ini dimaknai Tiongkok sebagai pengingat atas penderitaan sekaligus keteguhan rakyatnya di masa perang. Kehadiran Rusia, dan Korea Utara dalam peringatan ini memperlihatkan semakin kuatnya simbol persahabatan politik dan strategi ketiga negara?sekaligus dapat dijadikan simbol solidaritas baru menghadapi tekanan global, terutama dari Amerika Serikat (AS?dan sekutunya.
Presiden AS Donald Trump segera bereaksi dengan lantang: “Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara sedang bersekongkol melawan Amerika!” Namun tanggapan dari pihak Tiongkok singkat dan jelas: memperingati sejarah, tidak menargetkan siapa pun. Maka dimulailah sebuah drama diplomatik: siapa yang sedang memprovokasi, siapa yang sedang menenangkan keadaan.
Perayaan kemenangan atas Jepang ini bukan hanya refleksi sejarah, tapi juga menjadi ajang Tiongkok menegaskan peran sebagai pemimpin kawasan. Bagi Tiongkok, perayaan ini menegaskan posisi sebagai pusat kekuatan Asia, sekaligus menunjukkan kapasitas memobilisasi sekutu.
Rusia, yang terkucil karena perang Ukraina, menemukan panggung untuk membuktikan dirinya masih memiliki dukungan di Asia. Sementara Korea Utara memanfaatkan momentum untuk menampilkan diri bukan sebagai negara terisolasi. Pyongyang mendapat keuntungan diplomatik, menunjukkan pada rakyatnya bahwa mereka tetap diperlakukan sebagai mitra penting oleh kekuatan besar.
Bagi Tiongkok, perayaan ini memperkuat citra sebagai pusat gravitasi kawasan. Dengan menjadi tuan rumah bagi dua negara yang sama-sama berkonflik dengan Barat, Beijing meneguhkan perannya sebagai pengikat utama dalam jaringan solidaritas anti-hegemoni. Di mata publik domestik, Tiongkok tampil sebagai negara besar yang bukan hanya dihormati karena kekuatan ekonominya, tetapi juga karena kemampuannya membangun aliansi strategis.
Acara peringatan ini pada dasarnya bertujuan mengenang sejarah, merefleksikan perang, dan mengangkat semangat perdamaian. Tiongkok mengundang banyak pemimpin, termasuk dari Rusia dan Korea Utara. Total ada 26 kepala negara dan pemerintahan hadir. Itu sebuah kegiatan peringatan internasional yang normal. Namun, di mata Trump, acara ini berubah menjadi “lokasi persekongkolan.”
Trump menulis di media sosial bahwa Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara “bersekutu melawan AS,” bahkan dengan nada sinis menyebut akan memberi “salam hangat” kepada Putin dan Kim Jong-un. Padahal, hanya beberapa hari sebelumnya, Trump memuji parade militer Tiongkok sebagai “indah dan mengagumkan.” Sikapnya pun berbalik 180 derajat, memperlihatkan inkonsistensi sekaligus kepanikan politik.
Berbeda dengan Trump, Beijing merespons dengan sikap yang tenang dan terukur. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Guo Jiakun, menegaskan dalam konferensi pers bahwa undangan Tiongkok kepada para tamu asing bertujuan memperingati sejarah bersama dan mengangkat perdamaian, bukan untuk menargetkan pihak ketiga.
Menariknya, Presiden Putin juga ikut “membongkar” narasi Trump. Ia mengatakan, selama kunjungannya ke Beijing, tidak ada satu pun yang melontarkan komentar negatif terhadap pemerintah AS.
Siapa sebenarnya yang memicu konfrontasi? Bagi Tiongkok, acara di Tiananmen adalah bagian dari upaya mengingat sejarah dan meneguhkan komitmen perdamaian. Namun, kebersamaan Xi-Putin-Kim mengirim pesan kuat, khususnya terhadap AS yang melihat ini sebagai ancaman ganda.
Pertama, ancaman strategis dan militer, karena Rusia dan Korea Utara berpotensi memperkuat kerja sama persenjataan dengan restu diam-diam dari Beijing. Kedua, ancaman politik global, karena Tiongkok berhasil menggunakan simbol sejarah untuk menarik simpati negara-negara lain yang merasa tertekan oleh Barat.
Momen tiga pemimpin di Tiananmen memperlihatkan dua hal yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara mungkin hanya ingin menunjukkan solidaritas sejarah dan simbol persahabatan. Di sisi lain, AS menafsirkannya sebagai ancaman langsung.