Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi akan bertemu dengan Presiden AS Donald Trump. Foto: Kyodo
Muhammad Reyhansyah • 24 October 2025 06:14
Tokyo: Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi akan menjalani ujian diplomatik pertamanya ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melakukan kunjungan resmi ke Tokyo pada 27 Oktober, sebagai bagian dari perjalanan tiga negara di Asia. Kunjungan tersebut berlangsung kurang dari seminggu setelah Takaichi dilantik sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang.
Trump, yang kini lebih berpengalaman secara politik dibanding masa jabatan pertamanya, dikenal sulit diprediksi dalam diplomasi internasional. Karena itu, membangun hubungan pribadi yang baik dengannya menjadi tantangan awal bagi Takaichi, yang dikenal sebagai murid ideologis mendiang Shinzo Abe, mantan perdana menteri yang memiliki hubungan dekat dengan Trump.
“Meski sulit memperkirakan bagaimana pertemuan dengan Trump akan berlangsung, Takaichi tampaknya berpotensi membangun hubungan baik dengannya karena pandangan konservatif mereka yang sejalan,” ujar Kristi Govella, penasihat senior sekaligus Ketua Program Jepang di Center for Strategic and International Studies (CSIS), seperti The Straits Times, Kamis, 23 Oktober 2025.
Govella menambahkan, Takaichi dapat meniru pendekatan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang berhasil memposisikan dirinya sebagai sekutu ideologis terdekat Trump di Eropa.
Senada dengannya, Bonnie Glaser, Direktur Program Indo-Pasifik di German Marshall Fund, menilai penting bagi Takaichi untuk segera membangun hubungan erat dengan Trump.
“Trump menghormati pemimpin yang kuat dan berpendirian tegas,” kata Glaser.
“Ia perlu mendengar visi Takaichi mengenai masa depan Jepang serta pentingnya aliansi keamanan dengan Amerika Serikat,” imbuh Glaser.
Sebagai figur konservatif dan pendukung kebijakan pertahanan yang kuat, Takaichi telah menempatkan sejumlah tokoh yang sebelumnya dekat dengan Abe dalam jabatan kunci di kabinetnya. Dalam konferensi pers pelantikannya pada 21 Oktober, ia menggemakan retorika Abe dengan menyatakan tekad untuk “mengembalikan diplomasi Jepang yang kembali bersinar di panggung dunia.”
Trump dijadwalkan meninggalkan Jepang pada 29 Oktober menuju Korea Selatan, sebelum menghadiri pertemuan puncak ekonomi Asia-Pasifik dan bertemu Presiden Tiongkok Xi Jinping.
Di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan antara Washington dan Beijing, para pengamat tidak menaruh banyak harapan terhadap terobosan besar dari pertemuan Trump dan Xi. Fokus utama pemerintahan Trump kini lebih condong pada isu perdagangan dan teknologi dibandingkan keamanan Asia atau persoalan Taiwan.
Trump kerap menuding hubungan dagang AS–Tiongkok tidak seimbang, dengan menekankan bahwa perusahaan Amerika tidak memiliki kesempatan yang sama di pasar Tiongkok. Sebaliknya, Beijing dinilai menjalankan strategi jangka panjang untuk memperluas pengaruh globalnya.
Meski Trump jarang menyinggung Taiwan dari sisi keamanan, Glaser memperkirakan Xi Jinping akan mengangkat isu pulau tersebut dalam pertemuan mendatang.
“Pertanyaannya adalah bagaimana ia menyampaikannya dan apa yang akan dimintanya,” ujarnya, menambahkan bahwa Xi kemungkinan berusaha membuat Trump menegaskan kembali posisi AS yang menolak kemerdekaan Taiwan.
Ia menilai Takaichi memiliki kesempatan strategis untuk menyampaikan kekhawatiran Jepang sebelum Trump bertemu Xi. “Jika ia menegaskan betapa pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan bagi Jepang, mungkin itu bisa memengaruhi cara Trump merespons Xi,” kata Glaser.
Sementara itu, perang dagang antara AS dan Tiongkok kembali memanas menjelang tenggat penghentian sementara tarif pada 10 November. Sebagai tanggapan terhadap kebijakan ekspor baru Tiongkok untuk mineral tanah jarang, Trump mengancam akan memberlakukan tarif tambahan hingga 100 persen mulai 1 November.
Govella, yang juga profesor hubungan internasional di Universitas Oxford, memperkirakan Trump akan memanfaatkan kunjungan ke Asia untuk menegaskan kembali citranya sebagai “pembuat kesepakatan ulung.”