Pembangunan Tanggul Laut Dinilai Bukan Solusi Permanen Tangani Banjir Rob

Ilustrasi banjir rob. (MGN/Ferdinandus Rabu)

Pembangunan Tanggul Laut Dinilai Bukan Solusi Permanen Tangani Banjir Rob

M. Iqbal Al Machmudi • 26 February 2025 21:10

Jakarta: Urban Justice Campaigner Greenpeace Indonesia, Jeanny Silvia Sirait menilai, pembangunan tanggul laut atau giant sea wall bukan cara yang tepat untuk menangani banjir rob yang sering terjadi di berbagai daerah, terutama si pesisir pantai utara Jawa. Sebab, tanggul laut hanya bersifat sementara menanggulangi banjir rob.

Jeanny menjelaskan Greenpeace Indonesia menemukan peran tanggul laut di wilayah Jabodetabek mengurangi banjir rob jangka waktu 3-4 tahun. Ketika memasuki tahun ke-5, banjir rob kembali terjadi dengan intensitas yang lebih sering dan dengan kapasitas yang lebih besar.

"Sayangnya solusi yang ditawarkan pemerintah justru menaikkan lagi temboknya. Jadi kita bisa bilang bahwa tanggul laut, giant sea wall, atau apapun namanya kita bisa bilang ternyata itu bukan solusi," kata Jeanny saat dikutip dari Media Indonesia, Rabu, 26 Februari 2025.

Menurut dia, peran tanggul laut tidak substansial dan bukan solusi yang sustainable. Sebab, pemerintah harus mengeluarkan anggaran lagi setiap 4-5 tahun untuk bangun tanggul yang sama dengan biaya yang sangat tinggi.

Oleh karena itu, Greenpeace Indonesia menawaran solusi jangka panjang. Pertama langkah ambisius dan solusi yang berkelanjutan dengan cara pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim.

"Kedua pengesahan RUU EBET, itu juga sedang kita tunggu-tunggu, supaya kita tidak lagi berketergantungan pada energi fosil yang justru malah membuat dampak resisi iklim semakin buruk, banjir rob juga jadi semakin buruk," ungkap dia.
 

Baca juga: Prabowo Yakin Pembangunan Giant Sea Wall dari Banten Sampai Gresik Terwujud

Ketiga dengan cara penanaman hutan mangrove. Apabila dibandingkan dengan pembangunan tembok laut yang memakan biaya tinggi, maka ada hutan mangrove yang solusinya sudah pasti lebih murah dan lebih berkelanjutan juga. 

Menurut dia, hutan mangrove punya fungsi untuk memecah ombak. Lalu berfungsi untuk reklamasi secara alami, karena dia bisa menimbulkan tanah baru. 

"Saya bisa sampaikan, misalnya Pulau Pari, itu sudah melakukan hal tersebut. Ini masyarakat yang melakukan. Mereka cari ilmu, mereka undang lembaga negara untuk dapat ilmunya, habis itu mereka kerjakan penanaman mangrove besar-besaran di wilayah Pulau Pari," sebut dia.

Sementara itu, Direktur Meteorologi Maritim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Eko Prasetyo menjelaskan tren perubahan tinggi muka air laut dari 1992 hingga 2020 sekitar 3,9 mm per tahun. Proyeksi perubahan tinggi muka air laut hingga tahun 2100, di Indonesia ini 8 mm per tahun.

"Sepertinya tidak terlalu tinggi, namun jika mengenangi dan dalam luasan yang luas, mengganggu kehidupan masyarakat. Seperti kegiatan-kegiatan perikanan atau budidaya di daratan dengan adanya air laut yang masuk ke daratan bisa mengganggu hasil panen mereka," kata Eko.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)