Achmad Zulfikar Fazli • 15 July 2025 13:18
Jakarta: Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengajak ulama dan akademisi untuk membuka ruang tafsir yang adaptif terhadap perubahan zaman, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan. Hal ini disampaikan Menag saat membuka International Conference on Islamic Ecotheology for the Future of the Earth (ICIEFE) 2025 dan Kick-Off for the Refinement of MoRA’s Qur’anic di Jakarta, Senin malam, 14 Juli 2025.
Menag menjelaskan dalam ilmu antropologi, terdapat konsep cultural rights atau hak budaya. Setiap bangsa memiliki hak budaya untuk membaca dan menafsir kitab suci sesuai dengan konteks lokal masing-masing.
Dia mengatakan Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh umat Muslim di dunia, bukan hanya untuk bangsa Arab. Sehingga, penafsiran terhadap kitab suci perlu mempertimbangkan konteks lokal agar lebih relevan dan membumi.
“Jadi, ada hak budayanya orang Arab memahami Al-Qur’an berdasarkan perspektif budaya Arabnya. Tapi kita juga di Indonesia punya hak budaya untuk menafsirkan Al-Qur’an menurut perspektif budaya kita,” ujar Nasaruddin dalam keterangannya, dilansir pada Selasa, 15 Juli 2025.
Dia mengungkapkan pentingnya kemampuan berbahasa dalam memahami teks-teks keagamaan. Bahasa Indonesia, menurut dia, memiliki jumlah kosakata yang relatif terbatas daripada bahasa lain, sehingga dapat menimbulkan banyak cabang pemahaman dalam menafsirkan kitab-kitab keagamaan.
“Bahasa Indonesia itu bahasa yang terbatas kosa kata, sehingga juga terbatas dalam menafsirkan kitab-kitab agama. Ini yang menjadikan kita salah memahami agama karena kesalahan berpikir yang hanya meng-copy-paste penafsiran dari orang lain, padahal mereka berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dengan kita,” jelas dia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abu Rokhmad, mengutip pandangan seorang cendekiawan Muslim, umat Islam hidup dalam peradaban teks atau nash. Artinya, semua hal sering dikembalikan kepada Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan utama.
Namun, dia mengingatkan ada teks-teks tafsir dan fikih yang tidak selalu relevan dengan tantangan zaman. “Konferensi ini menjadi titik awal bagi Kementerian Agama (Kemenag) dalam menyusun tafsir Al-Qur’an yang lebih relevan dengan isu-isu kontemporer, khususnya terkait isu lingkungan. kami berharap tafsir baru ini dapat memperkuat peran agama dalam menjawab persoalan global melalui pendekatan yang kontekstual dan inklusif,” jelas Abu.
Abu menambahkan konferensi ini merupakan tindak lanjut dari Deklarasi Istiqlal 2024 yang menegaskan pentingnya Pancasila sebagai landasan filosofis dalam membangun etika bumi dan solidaritas ekologis lintas iman.
“Konferensi ini akan mendorong lahirnya kebijakan dan aksi sosial yang tidak hanya berbasis teknokrasi, tetapi juga nilai-nilai spiritual,” tutup Abu.
Konferensi yang digelar selama pada 14–16 Juli 2025 itu menjadi penutup rangkaian kegiatan Peaceful Muharam 1447 Hijriah yang telah dimulai sejak 22 Juni 2025. Acara tersebut melibatkan unsur pemerintah, akademisi dalam dan luar negeri, masyarakat sipil, media, generasi muda dari pesantren, universitas, hingga komunitas lingkungan.
Selain menjadi forum dialog, momen ini juga menandai dimulainya tahapan penyempurnaan tafsir Al-Qur’an versi Kemenag melalui
Kick-Off for the Refinement of MoRA’s Qur’anic. Proses penyempurnaan ini diarahkan untuk menghasilkan tafsir yang tidak hanya sahih secara teologis, tetapi juga selaras dengan nilai-nilai kebangsaan, keberagaman budaya, serta tanggap terhadap persoalan kemanusiaan dan lingkungan hidup.