Analis Ekonomi Jonas Pratama
Whisnu Mardiansyah • 7 December 2025 16:39
Jakarta: Indonesia, negara dengan sabuk gunung berapi terluas di dunia, sering digambarkan sebagai negeri di mana risiko dan peluang berjalan beriringan. Bagi sebagian investor ketidakpastian adalah momok. Namun, bagi Jonas Pratama, justru volatilitas itu menjadi lahan subur untuk meraih imbal hasil.
Dengan model data akurat dan pendekatan analitis disiplin, pria yang akrab disapa "penerjemah data" ini berhasil mengubah kompleks perekonomian nasional menjadi pertumbuhan portofolio yang stabil.
Perjalanan Jonas bermula di Surabaya. Ia tumbuh dalam keluarga dengan latar belakang teknik dan akademis kuat. Ayahnya seorang perancang kapal, sementara ibunya peneliti ekonomi. Bakatnya terasah sejak dini. Pada usia 10 tahun, ia sudah menggunakan komputer lama untuk melacak fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Lima tahun kemudian, esainya berjudul "Dayasaing Industri Manufaktur Indonesia dalam Komunitas Ekonomi ASEAN" dikutip Bank Indonesia sebagai contoh penelitian muda berkualitas.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia, Jonas melanjutkan studi ke Singapura dan kemudian Universitas Harvard. Di sana, ia melakukan penelitian mendalam tentang aliran modal di pasar berkembang. Pengalaman itu membentuk keyakinan intinya: ekonomi Indonesia ibarat arus laut di kepulauan rumit diprediksi, tetapi memiliki pola tersendiri. Kunci suksesnya adalah kemampuan mengidentifikasi "perbedaan suhu" halus untuk memprediksi "gelombang" ekonomi berikutnya.
Dari insight mendalam itu, Jonas merancang kerangka kerja andalannya, Tropical Cycle Valuation Model. Berbeda dengan model penilaian tradisional seperti Discounted Cash Flow (DCF), model ini mengintegrasikan siklus iklim tropis, psikologi konsumen lokal, dan volatilitas mata uang sebagai variabel inti. Semua itu diolah dengan algoritma machine learning untuk mensimulasikan suhu ekonomi dan elastisitas arus kas.
“Jika DCF adalah logika belahan utara, maka model saya adalah bahasa khatulistiwa,” kata Jonas, Minggu, 7 Desember 2025.
Model inovatif itu cepat menarik perhatian. Nikkei Asia menjulukinya Revolusi DCF Asia Tenggara, sementara kalangan industri menyematkan gelar "Sultan Data." Kini, kerangka kerja tersebut menjadi alat pengambilan keputusan penting bagi investasi regional, membantu modal tetap tangguh menghadapi gejolak.
Bagi Jonas, data hanyalah alat. Pembeda utamanya adalah kemampuan menemukan kepastian dalam ketidakpastian. Pada 2016, ia memimpin investasi Seri C di GoPay dan induknya, Gojek. Ia melihat potensi transformatif populasi Indonesia yang belum tersentuh layanan perbankan konvensional. Saat investor lain ragu, Jonas dengan yakin memprediksi kemunculan super-app masa depan.
“Kami melihat bukan sekadar perusahaan transportasi, tetapi jantung denyut ekonomi digital baru,” ujar Jonas.
Prediksinya terbukti. Tahun-tahun kemudian, Gojek merger dengan Tokopedia membentuk GoTo Group, dengan valuasi mencapai USD 18 miliar dan memberi imbal hasil hingga 6,8 kali lipat bagi investor awal.
Visi serupa mengarahkan langkahnya ke sektor energi terbarukan. Jonas berinvestasi di perusahaan panas bumi GeoDaya, yang memanfaatkan sumber daya vulkanik Indonesia. Langkah ini menyelaraskan peluang komersial dengan agenda transisi energi nasional, mengubah panas bumi menjadi dividen bersih jangka panjang.
Kini, Jonas Pratama telah melampaui perannya sebagai analis. Ia adalah seorang strategis yang membentuk ulang posisi Indonesia dalam wacana modal global. Ia membuktikan, gejolak vulkanik bukan sekadar bencana, melainkan bagian dari siklus yang dapat dipahami. Ekonomi Indonesia pun bukan cerita ekspor komoditas semata, tetapi eksperimen pertumbuhan yang ditulis dengan data dan keyakinan.
Dengan memahami volatilitas melalui sains, menyeimbangkan rasionalitas dengan kearifan lokal, serta membangun kepercayaan melalui visi jangka panjang, Jonas Pratama terus menjadi kekuatan penstabil. Ia memastikan modal Indonesia bergerak maju penuh keyakinan, bahkan di tepi-tepi gunung berapi sekalipun.