Tiongkok Diuntungkan oleh Ketidakpastian Global Akibat Kebijakan Trump

Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Foto: Anadolu

Tiongkok Diuntungkan oleh Ketidakpastian Global Akibat Kebijakan Trump

Fajar Nugraha • 17 July 2025 20:06

Washington: Amerika Serikat (AS) kehilangan pengaruh strategis terhadap Tiongkok akibat penarikan diri Presiden Donald Trump dari panggung global dan pendekatan transaksional terhadap kebijakan luar negeri, menurut laporan yang disusun oleh Partai Demokrat.

Dalam laporan yang mengevaluasi enam bulan pertama masa jabatan Trump, disebutkan bahwa kepemimpinannya telah “secara signifikan melemahkan” kemampuan Washington untuk bersaing dengan Tiongkok.

Dikutip dari Al Jazeera, Kamis, 17 Juli 2025, laporan tersebut menyoroti pengurangan staf di Departemen Luar Negeri AS dan “penghancuran kacau” terhadap Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) serta Badan Media Global AS yang mengawasi Voice of America dan Radio Free Asia sebagai langkah-langkah yang memperlemah kekuatan dan pengaruh AS.

Laporan ini dirilis pada Senin oleh anggota Partai Demokrat di Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS dan menggambarkan Tiongkok sebagai “tantangan strategis yang berbeda dari apa pun dalam sejarah bangsa kita” dengan “strategi jangka panjang untuk menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan super dunia.”

“Saat Presiden Trump mundur dari berbagai penjuru dunia, menyerang sekutu, memangkas alat diplomatik Amerika dan merangkul para musuh Tiongkok membangun pengaruh, memperluas hubungan, dan membentuk kembali tatanan global demi keuntungannya sendiri,” kata Senator AS Jeanne Shaheen dalam sebuah pernyataan.

Menurut laporan itu, Tiongkok bergerak mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Trump dengan menarik diri dari berbagai inisiatif global seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Perjanjian Iklim Paris, dengan meningkatkan pendanaan luar negeri dan memperbesar jejak diplomatiknya.

Perang tarif Trump terhadap mitra dagang AS juga telah merusak “aliansi dan kemitraan ekonomi,” kata laporan itu, mendorong bahkan sekutu dekat AS untuk lebih mendekat ke arah Tiongkok.

Peringatan dari Partai Demokrat, yang memegang minoritas kursi di kedua majelis Kongres, selaras dengan hasil survei opini yang dirilis Selasa, menunjukkan adanya pergeseran global dalam sikap yang mengarah pada peningkatan citra Tiongkok.

Sikap terhadap Tiongkok membaik di 15 dari 25 negara, termasuk Meksiko, Afrika Selatan, Turki, Kenya, dan Indonesia, dibandingkan tahun lalu, menurut Pew Research Center yang berbasis di AS dan bersifat non-partisan.

Meski secara keseluruhan persepsi global terhadap Tiongkok masih cenderung negatif dengan median 54 persen responden menyatakan persepsi yang tidak menguntungkan, negara tersebut kini dipandang sebagai kekuatan ekonomi utama dunia dengan sedikit keunggulan dibandingkan AS, menurut Pew.

Survei itu menemukan bahwa 41 persen responden menganggap Tiongkok sebagai “ekonomi terbesar dunia” pada 2025, dibandingkan 39 persen untuk AS.

Beberapa perubahan persepsi paling tajam terjadi di 10 negara berpenghasilan tinggi, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, dan Inggris.

Di antara kelompok ini, hanya 35 persen responden yang memiliki pandangan positif terhadap AS, turun dari 51 persen pada 2024, menurut Pew, dengan penurunan dua digit dalam sentimen di antara sekutu utama AS di kawasan Asia Pasifik seperti Korea Selatan, Jepang, dan Australia.

Tiongkok mengalami peningkatan dalam tingkat penerimaan di 10 negara tersebut, naik dari 23 persen pada 2024 menjadi 32 persen pada 2025.

“Kepercayaan terhadap presiden AS di negara-negara berpenghasilan tinggi juga turun dari 53 persen pada 2024 –,ketika Joe Biden masih menjabat,– menjadi 22 persen setelah Trump kembali menjabat,” menurut Pew.

Tingkat persetujuan terhadap presiden AS kini sedikit lebih rendah dibandingkan Presiden Tiongkok Xi Jinping, yang mengalami sedikit peningkatan dari 17 persen pada 2024 menjadi 24 persen pada 2025.

Skeptis terhadap AS

Perang dagang Trump telah menimbulkan “skeptisisme dan ketidakpercayaan yang jauh lebih dalam terhadap Amerika Serikat di kawasan Asia saat ini,” kata Ian Chong, profesor ilmu politik di National University Singapore.

“Bagi sebagian pihak, kerja sama dengan Tiongkok tampaknya menjadi alternatif yang menarik,” kata Chong.

“Namun, kurangnya respons tegas terhadap tarif AS juga mencerminkan kenyataan bahwa ekonomi di kawasan dan luar kawasan menyadari bahwa mereka juga tidak bisa sepenuhnya lepas dari kerja sama ekonomi dengan Amerika Serikat, betapapun tidak disukainya.”

William Yang, analis senior untuk Asia Timur Laut di lembaga think tank Crisis Group yang berbasis di Brussels, mengatakan Tiongkok kini semakin dipandang sebagai mitra bisnis yang lebih dapat diandalkan di tengah ketidakpastian dari AS.

“Ketika negara-negara menghadapi ketidakpastian yang dibawa oleh pemerintahan Trump, semakin banyak dari mereka termasuk sekutu dekat AS di kawasan Indo-Pasifik yang berupaya menstabilkan hubungan mereka dengan Tiongkok melalui peningkatan pertukaran bilateral tingkat tinggi,” kata Yang.

Sejumlah pemimpin sekutu AS telah mengunjungi Tiongkok sejak Trump menjabat, termasuk Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dan Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar, yang keduanya bertemu dengan Presiden Xi Jinping pekan ini di Beijing.

Awal tahun ini, Xi juga telah menerima kunjungan dari perdana menteri Singapura, Selandia Baru, dan Spanyol, serta presiden Brasil.

“Masih ada kekhawatiran mendasar terhadap praktik-praktik tertentu yang dilakukan Tiongkok, khususnya di sektor keamanan, namun demi memastikan mereka memiliki ruang gerak lebih dalam menghadapi ketidakpastian tambahan dari pemerintahan Trump, negara-negara tersebut melihat perlunya menstabilkan hubungan dengan Tiongkok,” kata Yang.

“Itu, pada akhirnya, bisa menghasilkan sedikit peningkatan pandangan terhadap Tiongkok,” pungkas Yang.

(Muhammad Reyhansyah)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)