Indonesia berpeluang menjadi penopang utama bahan baku industri otomotif global, terutama bagi Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok (Foto:Dok.MIND ID)
Jakarta: Produksi aluminium Indonesia berpotensi memegang peran penting dalam rantai pasok industri otomotif global seiring meningkatnya kebutuhan aluminium untuk kendaraan listrik dan alat berat. Kenaikan permintaan ini dipicu tren transisi energi dan elektrifikasi kendaraan di berbagai negara industri besar.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining & Energy Watch Ferdy Hasiman menilai Indonesia memiliki posisi strategis dalam rantai pasok logam ringan dunia. Melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) di bawah kendali holding tambang MIND ID, Indonesia kini berpeluang menjadi penopang utama bahan baku industri otomotif global, terutama bagi Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok.
“Dengan mengontrol INALUM, Indonesia mampu mengontrol bahan baku bagi industri otomotif global, terutama Jepang dan Korea Selatan yang menguasai pasar dunia otomotif,” ujar Ferdy.
Data menunjukkan permintaan aluminium global meningkat pesat sejak 2017. Jepang, misalnya, memproyeksikan kebutuhan 2 juta ton aluminium untuk otomotif pada 2025. Sementara, Tiongkok mencatat permintaan hingga 17,3 juta ton untuk sektor kendaraan listrik, konstruksi, dan infrastruktur energi baru terbarukan.
Kebutuhan besar ini menjadikan aluminium sebagai salah satu logam paling dicari di dunia, mengingat setiap kendaraan listrik memerlukan 300–400 kilogram aluminium dalam struktur bodinya. “Industri otomotif dunia yang sedang bertransisi ke kendaraan listrik sangat bergantung pada pasokan aluminium,” kata Ferdy.
Indonesia berada dalam posisi strategis untuk memenuhi kebutuhan tersebut. INALUM memiliki kapasitas produksi aluminium mencapai lebih dari 300 ribu ton per tahun, menjadikannya produsen terbesar di Asia Tenggara. Kebutuhan bahan baku alumina kini diperkuat dengan proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat.
Fasilitas yang digarap bersama PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM) ini mampu memproduksi 1 juta ton alumina per tahun, di mana separuhnya akan diserap INALUM sebagai bahan baku peleburan aluminium, dan sisanya untuk ekspor.
“ANTAM punya cadangan bauksit besar dan bisa memasok bahan baku ke smelter INALUM. Ini memperkuat rantai industri dari hulu ke hilir, dari bauksit menjadi alumina hingga aluminium,” jelas Ferdy.
Langkah hilirisasi yang dijalankan MIND ID merupakan bentuk nyata dukungan terhadap kebijakan pemerintah dalam membangun ekosistem logam terintegrasi. Sebelumnya, Indonesia banyak mengekspor bauksit mentah ke Tiongkok hingga 40 juta ton per tahun. Kini, orientasinya beralih dari ekspor bahan mentah menuju produksi alumina dan aluminium bernilai tambah tinggi.
“Dengan kebijakan ini, perusahaan otomotif asing justru akan mengimpor alumina dari Indonesia kalau ingin tetap menjaga pasokan bahan baku,” ujar Ferdy.
Hilirisasi ini menjadi tonggak menuju era industrialisasi baru Indonesia. Selain memperkuat struktur industri nasional, kebijakan tersebut diharapkan mampu menekan defisit perdagangan sektor manufaktur yang pada periode 2017–2024 tercatat mencapai USD4,3 miliar akibat impor komponen otomotif dan alat berat.
“Indonesia terlalu lama nyaman mengekspor bahan mentah. Padahal, nilai tambah sesungguhnya ada di tahap pengolahan,” kata Ferdy.