Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian. Menarik karena dari sebuah cerita kartun tentang bajak laut dari Jepang sono, muncul perdebatan serius tentang patut atau tidaknya bendera bergambar simbol tengkorak manusia di atas tulang bersilang itu dikibarkan di Indonesia.
Layak dikaji karena tiba-tiba pengibaran bendera One Piece itu dianggap 'menyaingi' bendera Merah Putih, terutama menjelang perayaan HUT ke-80 RI sekarang ini. Ada yang menilainya sebagai bentuk provokasi, merusak kesakralan hari kemerdekaan, menodai nilai sejarah bangsa, bahkan menyebutnya sebagai bibit makar. Duh, sebegitu mengerikankah bendera One Piece di mata penguasa?
Manga One Piece, meskipun sejak awal dikenal sebagai cerita perlawanan terhadap ketidakadilan, oleh penulisnya, Eiichiro Oda, tentu dimaksudkan sebagai bacaan ringan. Begitu pula setelah manga itu diadaptasi menjadi animasi video, pasti diproduksi dengan tujuan yang sama, sebagai tontonan yang renyah dan menghibur.
Kalaupun ada sisi-sisi kritis dalam cerita itu, baik melalui dialog maupun celetukan-celetukan karakter di dalamnya, itu tidak lebih dari kritik dan pesan moral yang memang biasa diselipkan para seniman dalam karya-karya mereka. Bukankah seperti pernah dikatakan Pablo Picasso, seni bukanlah hanya tentang menciptakan yang indah, melainkan juga tentang memberikan makna?
Begitulah semestinya pemerintah merespons fenomena pengibaran bendera One Piece sedari awal. Seharusnya tak perlu baper dan bereaksi berlebihan menanggapinya, baik melalui narasi negatif maupun tindakan seperti mengirim ancaman kepada pengibar bendera One Piece bakal disanksi pidana atau mengerahkan aparatur untuk merazia dan menurunkan bendera tersebut.
Betul bahwa ada semangat kritis masyarakat yang melatarbelakangi masifnya pengibaran bendera One Piece itu, yang terutama ditujukan kepada pengelola negara ini. Ada spirit keresahan dan kegelisahan publik yang ditumpahkan melalui pemasangan bendera itu, khususnya tentang ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan.
Dalam banyak hal, harus diakui, rakyat memang tidak terlalu nyaman dengan situasi pengelolaan negara belakangan ini. Baik dari sisi kebijakan pemerintah soal ekonomi, situasi perpolitikan yang sarat transaksi dan kolusi, maupun kondisi penegakan hukum yang masih saja timpang: lembut kepada elite, tapi keras terhadap rakyat kecil.
Melalui bendera One Piece, rakyat hanya ingin suara dan keresahan mereka didengar dan mendapat atensi pemerintah. Sama sekali bukan untuk menurunkan hormat mereka kepada Merah Putih, bukan pula untuk mengalihkan kecintaan mereka terhadap Tanah Air kepada kelompok bajak laut Topi Jerami itu. Apalagi untuk tujuan makar, sungguh kejauhan tuduhan seperti itu.
Respons prematur yang salah dari sebagian pejabat pemerintah, juga sejumlah wakil rakyat, justru membuat kepopuleran bendera One Piece kian melejit. Di dunia internet, tagar One Piece berkali-kali memuncaki
trending percakapan media sosial. Isunya semakin viral berbarengan dengan kian derasnya kritik terhadap kebaperan pemerintah. Di dunia nyata pun sama, semakin banyak orang yang mencari bendera itu untuk dipasang, entah di kendaraan ataupun di halaman rumah mereka.
Belakangan pemerintah memang melunak, terutama setelah
Presiden Prabowo Subianto juga sudah memberikan reaksi positif dengan menyebut pengibaran bendera One Piece tidak menjadi persoalan sebagai bentuk ekspresi kaum muda. Sayangnya, 'kesadaran' itu datang cukup terlambat. Semangat masyarakat untuk melawan pelarangan pemasangan bendera One Pice sudah kadung meninggi.
Fenomena bendera One Piece itu mengingatkan kita pada kejadian beberapa bulan lalu ketika respons berlebihan dari aparat terhadap lagu
Bayar Bayar Bayar milik
band Sukatani malah membuat lagu itu populer. Awalnya coba dibungkam karena polisi gerah mendengar kritik lugas yang disampaikan duo Alectroguy dan Twister Angel itu, tapi pada akhirnya justru memicu lebih banyak orang mendengarkan sekaligus meresapi kritik yang disampaikan lirik lagu tersebut.
Dari sudut pandang komunikasi, 'meledaknya' pemasangan bendera One Piece dan lagu Sukatani justru setelah pihak yang dikritik mencoba menenggelamkannya ialah contoh sahih dari
Streisand effect.
Streisand effect ialah fenomena ketika upaya untuk menyembunyikan, menyensor, atau menutup-nutupi informasi justru membuat informasi itu semakin menyebar dan terkenal.
Streisand effect bermula dari kasus yang melibatkan aktris sekaligus penyanyi Barbra Streisand pada 2003 silam. Streisand menggugat seorang fotografer yang memublikasikan foto rumahnya di Malibu, California, AS. Ia menganggap Kenneth Adelman, si fotografer, mengganggu privasi dirinya dengan mengunggah foto rumah tersebut.
Padahal, niat Edelman mengambil dan memublikasikan foto-foto pesisir itu, termasuk di dalamnya rumah Streisand, hanya untuk mendokumentasikan erosi pantai di California. Singkat cerita, gugatan Streisand itu, alih-alih berhasil menghapus foto tersebut, malah menjadikannya viral. Dari situlah istilah
Streisand effect bermula.
Dalam konteks bendera Jolly Roger, efek Streisand itu tergambar dari banyaknya orang yang mencari dan yang memproduksi bendera tersebut. Semakin dilarang malah semakin dicari. Semakin dilawan dengan narasi negatif dan tudingan-tudingan yang prematur dan
ngawur, bendera One Piece justru semakin banyak berkibar.
Jika kritik melalui bendera itu tidak mampu dikelola dengan baik, boleh jadi fenomena itu justru akan menggumpal menjadi gerakan yang lebih keras. Kemungkinan itulah yang selayaknya membuat pemerintah takut. Bukan seperti sekarang, sama bendera anime saja sudah keder.