Pemimpin Junta Myanmar Min Aung Hlaing. Foto: EFE-EPA
Yangon: Pimpinan junta
Myanmar,
Min Aung Hlaing, bisa dijatuhi surat perintah penangkapan oleh
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Rencana itu dikeluarkan beberapa tahun setelah ia memimpin kampanye brutal terhadap minoritas Rohingya.
Min Aung Hlaing adalah kepala angkatan bersenjata Myanmar ketika militer melancarkan tindakan keras pada 2017, setelah apa yang disebutnya sebagai serangan oleh pemberontak Rohingya di negara bagian Rakhine.
Membawa kisah-kisah mengerikan tentang pemerkosaan, pembakaran, dan pembunuhan, sekitar 750.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Jaksa Kepala ICC, Karim Khan mengatakan, pada Rabu bahwa ada alasan yang cukup untuk meyakini Min Aung Hlaing "memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama tindakan keras tersebut”.
Menyusul permintaan Khan kepada hakim untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap kepala junta, AFP mengulas kasus ICC ini dan apa artinya bagi Myanmar.
Siapakah Min Aung Hlaing?
Min Aung Hlaing adalah kepala angkatan bersenjata selama pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi, yang digulingkan dalam kudeta yang dipimpinnya pada 2021. Pengambilalihan militer tersebut membawa Myanmar ke dalam krisis, dan perang saudara berkecamuk sejak saat itu.
Sejak kudeta, kepala junta Myanmar hanya memberikan sedikit wawancara kepada media dari Tiongkok dan Rusia.
Dia muncul secara rutin di halaman depan surat kabar pemerintah Myanmar, memeriksa proyek infrastruktur, menyarankan petani untuk menanam lebih banyak tanaman, dan membagikan uang tunai serta makanan kepada prajurit yang terluka.
Kenapa sekarang?
Khan mengatakan permintaannya mengikuti “fokus baru” pada penyelidikan pengadilan, yang dimulai pada tahun 2019.
Beberapa analis mencatat bahwa pengumuman ini datang beberapa hari setelah ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Israel, dan kepala militer Hamas.
"Ada sedikit kesan kepentingan politik dalam keputusan jaksa, yang menggunakan kasus Rohingya untuk tampak lebih seimbang," kata analis independen Myanmar, David Mathieson.
Presiden Rusia, Vladimir Putin -,sekutu junta Myanmar,-telah berada di bawah surat perintah penangkapan ICC sejak Maret 2023.
Akankah Min Aung Hlaing ditangkap?
Jika surat perintah penangkapan ini dikabulkan, 124 negara anggota ICC wajib menangkap kepala junta jika ia bepergian ke negara mereka.
Namun, junta Myanmar mengatakan “pernyataan ICC tidak pernah diakui” karena Myanmar bukan anggota ICC.
Min Aung Hlaing sempat mengunjungi Indonesia untuk menghadiri pertemuan puncak regional tak lama setelah kudeta, tetapi kini ia jarang bepergian ke luar negeri.
Sejak saat itu, satu-satunya perjalanan luar negeri yang dilaporkan dilakukan adalah ke negara-negara sekutu dekat dan pemasok senjata, yakni Tiongkok dan Rusia — yang keduanya bukan anggota ICC.
Surat perintah ICC di Rusia dapat dilihat sebagai lambang kehormatan, kata Richard Horsey dari International Crisis Group.
“Terutama dengan Putin, ini bisa mempererat persahabatan mereka,” ujarnya.
Apa Artinya Bagi Myanmar?
“Warga Rohingya sudah menantikan ini,” kata Senoara Khatun, seorang guru sekolah komunitas di kamp pengungsi Bangladesh.
“Saya berharap setiap pelaku kejahatan akan diadili oleh ICC sesuai hukum yang berlaku,” ucap Khatun.
Sementara junta militer terus berjuang untuk menghancurkan perlawanan terhadap kekuasaannya, kelompok hak asasi manusia melaporkan bahwa junta telah membakar desa-desa, melakukan pembunuhan di luar hukum, serta menggunakan jet tempur dan artileri untuk membombardir komunitas yang dicurigai sebagai oposisi.
Menurut Horsey, surat perintah apapun “hampir pasti tidak akan mengubah perilaku pasukan mereka di lapangan.”
Mathieson berpendapat bahwa keputusan ini justru bisa meningkatkan "rasa hormatnya di kalangan para pembenci Rohingya dan penganut nasionalisme garis keras."
“Ini juga tidak memberi harapan bagi warga Myanmar lainnya, di mana kejahatan kemanusiaan terus terjadi setiap hari dan impunitas merajalela. Akuntabilitas internasional berjalan sangat lambat,” pungkas Mathieson. (Antariska)