Telegram saat ini kehilangan pemimpinnya Pavel Durov. Foto: EFE-EPA
Medcom • 29 August 2024 12:04
Paris: Pavel Durov, pendiri aplikasi Telegram, kini menghadapi investigas resmi di Prancis. Ia tidak diperbolehkan meninggalkan negara tersebut setelah pengadilan menetapkan jaminan sebesar USD5,56 juta atau setara Rp85 miliar.
Investigasi ini menyoroti berbagai kejahatan yang diduga melakukan penipuan, perdagangan narkoba, dan penyebaran pornografi anak. Meskipun begitu, dalam sistem hukum Prancis, pengumuman investigasi resmi tidak berarti bahwa ia telah dinyatakan bersalah.
Jaksa Prancis menambahkan bahwa Kantor Nasional Prancis untuk urusan anak-anak telah melaporkan “hampir tidak ada respons” dari Telegram terkait permintaan pengadilan tentang kejahatan seperti perdagangan manusia, ujar kebencian online, dan kejahatan pedofila.
Telegram, yang diluncurkan oleh Durov dan saudaranya Nikolai pada tahun 2013, kini memiliki lebih dari 950 juta pengguna di seluruh dunia.
Meskipun platform ini dipuji oleh kelompok kebebasan berpendapat karena enkripsinya yang kuat, banyak pihak mengkritiknya karena dianggap menjadi tempat aman bagi aktivitas ilegal, termasuk kelompok teroris dan ekstremis.
Penahanan Durov telah memicu perdebatan tentang kebebasan berpendapat, terutama di Rusia dan Ukraina, dimana Telegram sangat populer. Akhirnya, Juru bicara Rusia Kementerian Luar Negeri Maria Zakharova mengkritik Paris pada hari Rabu.
"Bagi saya, hal ini kembali menunjukkan sikap sebenarnya dari pemerintah Prancis, yang dengan jelas mengabaikan norma-norma internasional terkait perlindungan kebebasan berbicara dan berekspresi. Alasannya sederhana, jika mereka ingin mempertahankan standar tertentu, mereka tidak hanya harus mematuhinya, tetapi juga melindungi dan menerapkannya," ujar Zakharova.
Kremlin berusaha meredakan kekhawatiran di Rusia tentang masa depan aplikasi tersebut. Juru bicara pemerintah Rusia, Dmitry Peskov, mencoba meyakinkan pengguna untuk tidak menghapus pesan-pesan sensitif mereka di aplikasi itu.
Sementara Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menegaskan pada hari Senin bahwa tindakan tersebut “tidak bermotif politik”. (Nithania Septianingsih)