Kekerasan di Suriah. (Abdulvacit Haci Isteyfi/Anadolu)
Riza Aslam Khaeron • 13 March 2025 11:54
Jakarta: Kekerasan sektarian di Suriah kembali meningkat dalam beberapa pekan terakhir, dengan komunitas Alawi menjadi sasaran utama. Menurut laporan dari Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) yang dirilis pada Rabu, 12 Maret 2025, sedikitnya 1.383 warga sipil telah tewas dalam kekerasan di wilayah pesisir Suriah, termasuk Latakia, Tartous, dan Hama.
Serangan ini dipicu oleh bentrokan antara kelompok bersenjata pro-Bashar al-Assad dan pasukan keamanan di Latakia pada 6 Maret 2025.
Mengutip laporan dari China.org pada Kamis, 13 Maret 2025, bentrokan tersebut kemudian meluas ke provinsi lain dan memicu ketegangan sektarian yang menjadikan warga Alawi sebagai target utama kekerasan. Namun, mengapa demikian? Apa yang menjadi latar belakang kekerasan usai perang sipil sebelumnya yang berlangsung lebih dari dekade? Ini penjelasannya.
Komunitas Alawi sebagai Target Kekerasan
Melansir Carnegie Endowment for International Peace, Muhsen al-Mustafa, seorang peneliti di Omran Center for Strategic Studies, menyatakan bahwa kekerasan ini merupakan "titik balik kritis dalam transisi pasca-Assad."
Muhsen menilai bahwa peristiwa ini tidak terjadi secara spontan, melainkan sebagai hasil dari ketegangan politik dan sektarian yang telah terpendam sejak kejatuhan Bashar al-Assad pada Desember 2024.
Berdasarkan laporan dari Council on Foreign Relations (CFR), kekerasan yang terjadi di Suriah baru-baru ini sebagian besar dipicu oleh loyalis Assad yang berasal dari komunitas Alawi. Setelah Bashar al-Assad digulingkan pada Desember 2024, sebagian besar keluarga Assad dan lingkaran dalamnya melarikan diri ke Rusia dan Uni Emirat Arab.
Namun, banyak loyalis Assad dari komunitas Alawi yang tetap tinggal di Suriah, terutama di wilayah pesisir dan daerah pegunungan di sekitar Latakia dan Tartous.
Komunitas Alawi adalah kelompok minoritas heterodoks yang telah lama memegang posisi politik dan militer penting di Suriah karena hubungan erat mereka dengan keluarga Assad. Ketika Assad digulingkan, komunitas ini menjadi target balas dendam dari kelompok oposisi dan faksi internal yang ingin merebut pengaruh politik yang sebelumnya dikuasai oleh keluarga Assad.
"Komunitas Alawi kini menjadi target balas dendam, bukan hanya dari kelompok oposisi, tetapi juga dari faksi-faksi internal pemerintahan Suriah yang melihat mereka sebagai simbol kekuatan Assad," kata Muhsen.
Loyalis Assad dari komunitas Alawi kemudian melakukan perlawanan dengan melancarkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan interim yang dipimpin Ahmed al-Sharaa dan kelompok Ha’yat Tahrir al-Sham (HTS), yang merupakan cabang dari al-Qaeda.
Laporan CFR juga menyebutkan bahwa kekerasan terhadap komunitas Alawi bersifat kompleks karena bercampur antara motif politik dan sektarian. Beberapa laporan menyebutkan adanya pembantaian terhadap warga Alawi dan Kristen, namun laporan ini sulit diverifikasi karena adanya disinformasi yang tersebar luas di lapangan.
Muhsen menjelaskan bahwa kelompok pemberontak yang terdiri dari loyalis Assad berusaha menciptakan ketidakstabilan untuk melemahkan pemerintahan interim yang dipimpin Ahmed al-Sharaa.
"Serangan ini bukan hanya operasi militer biasa, melainkan upaya untuk memprovokasi konflik sektarian yang dapat memberikan pembenaran politik kepada kelompok bersenjata," kata Muhsen dalam wawancara dengan Carnegie yang dipublikasikan pada 11 Maret 2025.
Menurut laporan dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada 11 Maret 2025, pola kekerasan yang menargetkan warga Alawi telah didokumentasikan di beberapa kota dan desa di pesisir Suriah. Komisi tersebut memperingatkan bahwa kekerasan ini bisa memicu konflik yang lebih besar jika tidak segera diselesaikan.
Peran Ghiath Dalla dan Dugaan Keterlibatan Iran
Menurut Muhsen, salah satu tokoh utama di balik serangan ini adalah Brigadir Jenderal Ghiath Dalla, mantan perwira Divisi Lapis Baja ke-4 yang pernah dipimpin oleh Maher al-Assad, saudara Bashar al-Assad.
Dalla diketahui memiliki hubungan dekat dengan milisi yang didukung Iran, termasuk Hezbollah dan Brigade Imam Hussein.
“Dalla bertindak bukan hanya sebagai pemimpin simbolis, tetapi juga sebagai komandan lapangan dan perencana strategis,” ungkap Muhsen. Dia menambahkan bahwa Ghiath Dalla dan sekutunya di Dewan Militer Pembebasan Suriah (Military Council for the Liberation of Syria) bertujuan untuk menggagalkan transisi kekuasaan dengan menciptakan ketidakstabilan.
Muhsen juga mengungkapkan bahwa Iran kemungkinan memainkan peran dalam mendukung operasi ini, meskipun tidak ada pengakuan resmi.
"Koordinasi taktis, kecanggihan logistik, dan mobilisasi jaringan loyalis menunjukkan adanya dukungan setidaknya secara tidak langsung dari Iran," kata Muhsen.
Reaksi Pemerintah Suriah
Sebagai respons, Presiden Interim Ahmed al-Sharaa membentuk Komisi Nasional Independen pada 9 Maret 2025 untuk menyelidiki kekerasan ini dan mengadili para pelaku. Komisi tersebut diberi mandat untuk menyelesaikan penyelidikan dalam 30 hari.
Namun, pengamat internasional menilai bahwa penyelidikan ini kemungkinan tidak akan cukup untuk meredakan ketegangan sektarian. Menurut Muhsen, "Langkah-langkah transisi keadilan dan akuntabilitas institusional sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik sipil yang lebih besar di masa depan.”
Muhsen menilai bahwa masa depan komunitas Alawi di Suriah akan sangat tergantung pada bagaimana pemerintah interim menangani ketegangan sektarian ini. Menurutnya, inklusivitas politik dan perlindungan hukum bagi minoritas akan menjadi faktor kunci dalam menciptakan stabilitas jangka panjang di Suriah.
"Pada akhirnya, proses pembangunan negara harus berakar pada kewarganegaraan, sambil mengakui pluralisme di Suriah. Ini, bersama dengan pemulihan ekonomi dan navigasi yang hati-hati terhadap ancaman regional, termasuk dari Iran dan Israel, akan menentukan stabilitas Suriah," tutup Muhsen.