PERISTIWA itu sudah berlangsung lama, sembilan tahun lalu. Para 'pelakon' peristiwa itu pun sudah pensiun dari posisi ibu negara masing-masing. Namun, relevansinya masih terus menembus waktu hingga kini. Bahkan, kisah itu kini viral lagi di media sosial di Indonesia.
Adalah Ho Ching, istri Perdana Menteri Singapura periode 2004-2024 Lee Hsien Loong, dan Michelle Obama (ibu negara dan istri Presiden Amerika Serikat Barack Obama) yang membetot perhatian. Mereka mendampingi suami masing-masing, saat kedua kepala negara bertemu di Gedung Putih pada Agustus 2016.
Penampilan Ho Ching menuai banyak pujian. Ketika berkunjung ke Gedung Putih dan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan ibu negara Michelle Obama, Ho Ching yang ibu negara dari salah satu negara terkaya di Asia itu muncul dengan memakai tas yang dinilai harganya tak lebih dari Rp250 ribu.
Seperti dikutip dari Asian Correspondent, ketika itu, tas Ho Ching dijual hanya seharga US$14,80, atau sekitar Rp245 ribu, di toko online The Art Faculty milik Pathlight. Dalam sebuah acara resmi itu, ia memegang tas tangan biru sederhana, tidak ada merek yang dikenal dan tanpa desain mewah.
Media melihat dan segera mulai penasaran dengan penampilan Ho Ching, terutama ketika dibandingkan dengan keanggunan Michelle Obama, tuan rumah acara tersebut. Namun, apa yang terjadi di balik proses pembuatan tas itu, media di AS tidak banyak yang tahu. Di balik tas itu ada cerita yang terselip makna mendalam.
Ketika ditanya tentang tasnya, Ho Ching mengungkapkan dia telah membelinya hanya US$14 dari sebuah pameran kecil di Singapura. Namun, pameran itu bukan sembarang pameran, tidak seperti pameran lainnya.
Pameran tersebut khusus untuk siswa dengan autisme yang menawarkan produk buatan tangan, dukungan untuk bakat mereka, dan cara untuk membantu mereka mencari nafkah. Ho Ching berkata, "Tas sederhana di mata orang, tapi sangat berharga di mata saya karena dibuat seorang siswa berusia 19 tahun, yang menghabiskan banyak waktu dan usaha di dalamnya."
Tas berukuran kecil dengan motif dinosaurus tersebut dibuat Sheetoh Sheng Jie. Dialah penyandang autisme yang merupakan pelajar di Pathlight School, sekolah bagi siswa berkebutuhan khusus di Singapura. Kepala program seni Pathlight Loy Sheau-Mei pun memuji tindakan Ho yang membawa tas tersebut saat bertemu Michelle.
"Kami sangat terkejut dan merasa terhormat dia memilih tas itu untuk kunjungan kenegaraan. Hal ini menjadi batu lompatan bagi para seniman di Program Pengembangan Seniman dan barang dagangan di The Art Faculty," kata Loy.
Bukan sekadar membawa, Ho bercerita ihwal kisah di balik tas sederhananya itu. Dampak pernyataannya pun luar biasa. Penjualan pameran meningkat dari hanya beberapa tas menjadi lebih dari 200 tas per hari. Tas yang harganya tidak sampai US$11 itu pun menjadi sumber harapan dan dukungan untuk seluruh komunitas autis.
Dengan pembelian tas tersebut oleh ibu negara Singapura, siswa yang membuat tas itu pun juga mendapat royalti atas penjualan desain mereka dan untuk meningkatkan keterampilan seni mereka. Sebuah tindakan kecil itu pun berdampak sangat besar dan dikenang hingga kini.
Ho Ching sedang 'memamerkan' benda hasil kemampuan warganya yang berkebutuhan khusus. Ia bukanlah sosialita yang suka pamer dengan maksud negatif sebagaimana makna pamer dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: pamer yang bermakna menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri.
Saya menduga, kembali diviralkannya kisah sebuah tas sederhana yang digamit Ho Ching sembilan tahun lalu itu dimaksudkan untuk menyindir sikap kontras banyak sosialita kita hari-hari ini yang suka membawa tas bermerek dalam perjamuan atau arisan. Tas-tas yang ditenteng itu bernilai puluhan, bahkan ratusan, juta rupiah, entah untuk apa.
'Itu semacam pertunjukan tanpa empati'. Begitu kira-kira sindir sang pengunggah gambar dengan mengontraskannya lewat foto Ho Ching, ibu negara dengan pendapatan per kapita rakyatnya 15 kali lipat daripada pendapatan per kapita rakyat Indonesia.
Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI
Karena itu, ketika Ho Ching, yang ketika itu ibu negara dari salah satu negara terkaya di Asia, menenteng tas seharga Rp245 ribu, ia seperti anomali. Namun, di dunia ketika sebuah nilai kerap diukur dari penampilan dan merek, kisah nyata Ho Ching mengingatkan banyak orang bahwa bukan merek yang membuat orang dihormati dan punya nilai, melainkan perbuatan sesorang dalam hidup dan percaturan kehidupan.
Benar belaka kata suatu idiom bijak: Nilai sejati kita ialah apa yang kita tawarkan kepada orang lain dan memberikan dampak dalam kehidupan bagi orang lain walau dalam langkah sederhana. Bukan dari apa yang kita kenakan dan tampak di depan orang lain. Ho Ching menampar kita.