Tahanan di penjara Guantanamo Bay. (Shane T. McCoy/Dok. Angkatan Laut AS)
Riza Aslam Khaeron • 31 January 2025 15:55
Washington DC: Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menandatangani perintah eksekutif yang menginstruksikan agar Penjara Guantanamo digunakan untuk menahan imigran ilegal. Kebijakan ini menuai kontroversi besar karena Guantanamo memiliki sejarah panjang pelanggaran hak asasi manusia.
Sejarah Penjara Guantanamo
Foto: Lokasi Penjara Guantanamo Bay. (Al-Jazeera)
Penjara Guantanamo Bay terletak di pangkalan angkatan laut AS di Kuba. Pangkalan ini telah berada di bawah kendali AS sejak 1903 berdasarkan perjanjian dengan pemerintah Kuba. Namun, Guantanamo menjadi simbol kontroversial sejak dibukanya kamp tahanan pada 11 Januari 2002, pasca-serangan 11 September 2001.
Presiden AS saat itu, George W. Bush, menandatangani perintah militer yang mengizinkan penahanan tanpa batas waktu terhadap individu yang dicurigai sebagai "kombatan musuh ilegal."
Selama lebih dari dua dekade, penjara ini menahan sekitar 780 pria dan remaja laki-laki, sebagian besar tanpa dakwaan resmi. Pada tahun 2023, laporan Amnesty International mengungkapkan bahwa hanya tujuh tahanan Guantanamo yang pernah dihukum atas tuduhan terorisme, sementara mayoritas lainnya tetap dalam status tahanan tanpa kepastian hukum.
Amnesty International menyebut bahwa penjara Guantanamo telah menjadi “simbol penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia.”
Dikutip dari Al-Jazeera, Jumat, 31 Januari 2025, para kritikus juga menyoroti bahwa selama bertahun-tahun, Guantanamo lebih banyak menahan orang tanpa dakwaan dibandingkan narapidana yang benar-benar dihukum. Bahkan, laporan dari PBB tahun 2023 menyebutkan bahwa 21 tahun penahanan tanpa batas telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia sistemik terhadap para tahanan.
Guantanamo segera mendapat perhatian global karena laporan mengenai penyiksaan, perlakuan buruk terhadap tahanan, serta penahanan tanpa peradilan. Laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia menyebutkan bahwa tahanan di sana mengalami waterboarding, isolasi ekstrem, dan teknik interogasi agresif lainnya.
Trump dan Kebijakan Baru yang Sulit Direalisasikan
Foto: Deportasi imigran ilegal oleh administrasi Trump dengan borgol tuai banyak kritik, terutama dari negara-negara Amerika Selatan. (Dok. Pemerintah Amerika Serikat)
Pada Rabu, 29 Januari 2025, Trump menandatangani perintah eksekutif berjudul “
Expanding Migrant Operations Center at Naval Station Guantanamo Bay to Full Capacity”, yang mengubah fungsi Guantanamo sebagai tempat penahanan bagi imigran ilegal.
Dikutip dari Al-Jazeera, Jumat, 31 Januari 2025, kebijakan ini merupakan bagian dari janji kampanye Trump untuk melakukan "deportasi terbesar dalam sejarah AS."
Trump menyatakan bahwa Guantanamo akan menyediakan 30.000 tempat tidur bagi imigran ilegal yang memiliki catatan kriminal, dengan mengatakan bahwa pemerintahannya "tidak mempercayai" negara asal mereka untuk menahan mereka.
Dalam perintah eksekutifnya, Trump juga menulis bahwa kebijakan ini dibuat untuk “menghentikan invasi perbatasan, membongkar kartel kriminal, dan mengembalikan kedaulatan nasional.”
Namun, banyak pihak mempertanyakan legalitas keputusan ini. Dikutip dari Al-Jazeera, Jumat, 31 Januari 2025, pengacara hak asasi manusia Clive Stafford Smith mengatakan bahwa Trump "memiliki kekuatan mentah untuk membawa orang ke sana, seperti yang dilakukan Presiden Bush dengan para tahanan pada Januari 2002."
Namun, berbeda dengan tahanan yang dibawa dari luar AS, ia menekankan bahwa imigran ilegal yang diambil dari AS "memiliki semua hak hukum yang sama dengan penduduk AS, termasuk perlindungan penuh di bawah Konstitusi dan hak untuk mendapatkan peradilan yang adil.”
“Dengan demikian, mereka akan memiliki hak yang sama seperti pengungsi lainnya – bahkan lebih, karena Trump dengan ceroboh telah mengatakan bahwa ia tidak bisa mengirim mereka pulang, yang berarti ada argumen kuat bahwa mereka tidak dapat ditahan tanpa batas waktu,” kata Stafford Smith. Ia menjelaskan bahwa seorang pengungsi diizinkan untuk menerima kunjungan keluarga, tidak seperti para tahanan yang saat ini ditahan di Guantanamo.
Stafford Smith meledek rencana Trump untuk menggunakan Guantanamo sebagai "pusat detensi" bagi imigran ilegal sebagai "sekadar sandiwara populis untuk menunjukkan bahwa dia melakukan sesuatu," seraya menambahkan bahwa langkah ini secara hukum tidak akan bertahan lama.
Stafford Smith, yang telah mengunjungi Penjara Guantanamo berkali-kali untuk menemui kliennya, mengatakan bahwa hanya ada sekitar 500 sel di sana, dengan beberapa ruang tambahan. Bahkan jika Trump menahan 30.000 orang di sana, jumlah itu hanyalah persentase kecil dari total imigran yang ia janjikan untuk dideportasi, sehingga menurutnya langkah ini "sama sekali tidak berdampak dalam skema besar."
Selain itu, melansir
studi oleh Ran Abramitzky, Leah Platt Boustan, Elisa Jácome, Santiago Pérez, dan Juan David Torres dari National Bureau of Economic Research (NBER) tahun 2023, penelitian mereka berjudul "
Law-Abiding Immigrants: The Incarceration Gap Between Immigrants and the US-born, 1870–2020" menunjukkan bahwa imigran memiliki tingkat kejahatan lebih rendah dibandingkan warga AS asli.
Studi ini mengamati data dari 1870 hingga 2020 dan menemukan bahwa imigran 60% lebih kecil kemungkinannya untuk dipenjara dibandingkan warga AS, membantah klaim Trump bahwa imigrasi ilegal berkontribusi terhadap peningkatan kejahatan dan apakah tindakan ekstrem seperti ini dibutuhkan sebagai penyelesaian isu imigran ilegal.