Tanpa Industri yang Kuat, Mustahil RI Bisa Cetak Pertumbuhan Ekonomi 8%

Ilustrasi. Foto: Medcom.id

Tanpa Industri yang Kuat, Mustahil RI Bisa Cetak Pertumbuhan Ekonomi 8%

Husen Miftahudin • 1 March 2025 13:38

Jakarta: Sejarah menunjukkan negara-negara dengan ekonomi yang kuat selalu ditopang oleh industri yang maju. Sayangnya, di Indonesia, sektor industri menghadapi tantangan yang cukup besar.

Guru Besar Universitas Paramadina Ahmad Badawi Saluy mengungkapkan tren pertumbuhan ekonomi Indonesia tahunan (yoy) cenderung menurun sejak 2011 hingga 2024, dengan pengecualian 2020. Target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 sebesar 19,9 persen sampai 20,5 persen pun tidak tercapai. 

"Pada triwulan keempat 2024, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,02 persen, dengan kontribusi industri pengolahan yang sangat kecil, yaitu satu persen. Hal ini menunjukkan lemahnya peran sektor manufaktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," ucap Badawi melalui keterangan resmi yang diterima, Sabtu, 1 Maret 2025.

Lebih lanjut, Badawi membandingkan kinerja industri manufaktur Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Indonesia, sambung dia, sangat konsisten tertinggal dengan struktur industri pengolahan yang masih didominasi oleh industri berbasis sumber daya alam (resource-based).

Sementara itu, Malaysia dan Vietnam telah bergerak ke industri berbasis teknologi tinggi (high-tech). Sementara Thailand, didominasi oleh industri teknologi menengah (medium-tech). 

"Kondisi ini menunjukkan perlunya transformasi struktural di sektor industri Indonesia agar mampu bersaing di tingkat global," ungkap dia.

Di sisi fiskal, beban utang pemerintah juga menjadi tantangan serius. Pada 2024, utang jatuh tempo pemerintah pusat mencapai Rp371,8 triliun (Surat Berharga Negara) dan Rp62,49 triliun (pinjaman), dengan total bunga utang lebih dari Rp550 triliun. Total kewajiban utang mencapai Rp1.353,2 triliun.

Badawi menegaskan, sangat berat bagi Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen mengingat faktor pendukung seperti industri, situasi politik, dan penegakan hukum yang belum memadai. 

"Langkah strategis dan komprehensif diperlukan untuk memperbaiki fondasi ekonomi Indonesia ke depannya," imbuh dia.
 

Baca juga: Kalah dari Singapura, Kontribusi Korporasi RI untuk PDB Cuma 28%


(Ilustrasi. Foto: Medcom.id)
 

Capai kesejahteraan


Sementara itu, Dosen Universitas Paramadina Muhamad Ikhsan menekankan pertumbuhan ekonomi delapan persen harus dimaknai sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar tujuan akhir.

Ia juga mengingatkan adanya tanda-tanda deindustrialisasi, terlihat dari menurunnya nilai tambah (value added) sektor manufaktur dalam beberapa tahun terakhir. 

"Indonesia masih tertinggal dalam Global Innovation Index dan Economic Complexity Index, yang menunjukkan ketidakmampuan mengelola tugas-tugas kompleks. Hal ini menjadi tantangan serius dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi nasional," papar Ikhsan.

Selain itu, ia juga menyoroti pembangunan yang tidak merata di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi yang terlalu terpusat di Pulau Jawa. Sektor pertanian juga semakin kehilangan perannya terhadap PDB, sementara sektor jasa semakin meningkat.

Ikhsan memberikan tiga rekomendasi untuk pemerintah yaitu, melakukan kembali industralisasi dibandingkan hanya hilirisasi, meningkatkan pertumbuhan inovasi, dan mengurangi ketimpangan pembangunan dan meningkatkan kapasitas sektor-sektor strategis.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Husen Miftahudin)