Ketahanan IHSG Dipuji di Tengah Tekanan Ekonomi Global

Ilustrasi perdagangan saham di BEI. Foto: dok MI/Susanto.

Ketahanan IHSG Dipuji di Tengah Tekanan Ekonomi Global

M Rodhi Aulia • 9 April 2025 14:32

Jakarta: Di tengah tekanan pasar global akibat tarif balasan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, pasar saham Indonesia menunjukkan ketahanan yang relatif lebih baik dibanding banyak negara lain, termasuk AS sendiri.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa IHSG sempat turun hingga 9 persen di sesi pembukaan dan ditutup melemah 7,9 persen ke level 5.996,14. Namun, posisi Indonesia tetap lebih baik dibandingkan banyak negara lain.

“Kalau kita lihat banyak negara yang indeks harga sahamnya pada tanggal 8 April dibanding 2 April banyak yang koreksinya sangat dalam hingga 14 persen,” kata Sri Mulyani Indrawati dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia, di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa, 8 April 2025. 

“Investor portfolio merespons negatif kebijakan China. Kita semuanya hari ini adalah hari pertama pembukaan bursa dan kita sudah melihat Indonesia tadi sesi yang kedua di bawah 8 persen, 7,7 persen," tambahnya.

Ia menegaskan bahwa dinamika pasar yang sangat cair ini merupakan refleksi dari ketegangan global. Meski begitu, menurutnya, pasar Indonesia tetap menunjukkan ketahanan.

Baca juga: Airlangga: Perbankan Indonesia Solid di Tengah Ketidakpastian Global

“Kita itu seperti shock absorber. Shock-nya (yang) terjadi ini adalah bentuk respons yang mungkin harus terbiasa kita lihat. Namun tidak berarti kita kemudian shifting attention-nya dari fondasi yang tetap harus dijaga,” jelas Sri Mulyani.

Respon Pasar dan Optimisme Investor

Analis Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengatakan bahwa ketahanan pasar Indonesia menunjukkan bahwa investor menilai fondasi ekonomi nasional cukup solid di tengah tekanan global.

“Saya akui memang jauh lebih baik, sebab market merespon positif resiliensi perekonomian Indonesia,” kata Nafan kepada wartawan, Rabu, 9 April 2025.

Nafan juga menyebutkan bahwa ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 2 persen dari PDB—terendah di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, ekspor Thailand ke AS mencapai 11 persen dari PDB dan Malaysia 10 persen.

Di sisi lain, produk Indonesia dikenakan tarif AS sebesar 32 persen—masih lebih rendah dibanding negara pesaing seperti Bangladesh, Kamboja, China, Sri Lanka, dan Vietnam yang dikenakan tarif antara 37 hingga 49 persen.

Kondisi ini, menurutnya, justru membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI). “Insentif dari pemerintah juga menarik sekali dan ditunggu oleh para pelaku pasar,” tambah Nafan.

Pendekatan Konsiliatif Pemerintah

Dalam catatannya yang dirilis pada Selasa, 8 April 2025, Verdhana Sekuritas mencatat bahwa pertemuan ekonomi yang berlangsung selama enam jam tersebut dihadiri oleh Presiden RI dan jajaran pejabat utama seperti Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan, Gubernur BI Perry Warjiyo, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Verdhana menilai, pemerintah Indonesia memilih pendekatan konsiliatif dalam merespons tarif timbal balik AS, dengan cara mengalihkan sebagian impor ke produk-produk asal AS seperti pertanian, energi, dan teknologi. Pemerintah juga tengah menyiapkan insentif fiskal dan penghapusan hambatan non-tarif seperti kuota dan lisensi, guna meningkatkan kemudahan berbisnis dan menjaga daya saing ekspor.

“Ini adalah sebuah perkembangan besar yang disambut baik oleh komunitas bisnis. Persyaratan TKDN juga akan beralih dari mandat yang kaku ke kerangka kerja berbasis insentif untuk meningkatkan daya saing,” tulis Verdhana.

Strategi ini disebut lebih realistis dibanding negara seperti Vietnam yang perlu meningkatkan impor ke AS hingga 30 persen dari PDB agar mendapatkan penurunan tarif. “Sebaliknya, negara-negara seperti Vietnam perlu meningkatkan impor mereka ke AS sebanyak 11 kali (sekitar 30?ri PDB). Hal ini memberikan peluang bagi perusahaan untuk berinvestasi di Indonesia dengan tarif yang berpotensi lebih rendah ke pasar AS,” lanjut Verdhana.

Pemerintah juga memastikan perlindungan terhadap sektor padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki, baik dari tarif tinggi maupun dari serbuan impor ilegal. Rencananya, akan dibentuk gugus tugas khusus untuk merespons potensi PHK massal dan menjaga stabilitas tenaga kerja.

Di sisi lain, eksplorasi pasar baru seperti Uni Eropa juga masuk dalam agenda prioritas, seiring dengan reformasi bea cukai, administrasi pajak, dan penegakan hukum untuk memerangi praktik dumping dan impor ilegal.

“Pertemuan hari ini semakin mendukung pandangan kami bahwa aksi jual di pasar terlalu berlebihan... Kami percaya Indonesia — dengan salah satu tingkat paparan ekspor terendah ke AS dan perdagangan eksternal lebih terlindungi daripada kebanyakan negara,” jelas Verdhana.

“Lebih jauh, tanggapan pemerintah, baik yang bernada mendamaikan maupun berfokus pada reformasi untuk meningkatkan kemudahan berbisnis, tepat waktu,” tutup laporan itu.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Rodhi Aulia)