Kennorton Hutasoit, Jurnalis senior Metro TV. Foto: Dok/Istimewa
13 September 2025 08:41
Oleh: Dr. Kennorton Hutasoit*
Banjir besar yang melanda Bali pada dini hari hingga siang 10 September 2025 menjadi alarm keras bahwa bencana bukan hanya persoalan curah hujan, tetapi juga persoalan tata ruang, kebijakan publik, dan cara komunikasi pemerintah kepada warganya. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali hingga 12 September mencatat sedikitnya 17 orang meninggal dunia, ada koreksi pencatatan ganda karena sebelumnya 18 orang meninggal. Untuk korban hilang masih ada lima orang lagi dalam pencarian dan ratusan orang mengungsi di Denpasar, Jembrana, dan Badung. Lebih dari 500 bangunan rusak, termasuk Pasar Kumbasari dan kios-kios di Jalan Sulawesi, dengan total kerugian material yang ditaksir mendekati Rp 29 miliar. Infrastruktur pun porak-poranda: jembatan putus, tembok pembatas jebol, dan 160 titik banjir ditemukan di seluruh Bali. Ini bukan sekadar peristiwa cuaca ekstrem, melainkan peringatan bahwa tata kelola ruang dan kebijakan mitigasi bencana menghadapi ujian besar.
Di tengah bencana ini, Gubernur Bali I Wayan Koster menyampaikan pernyataan yang menepis tuduhan bahwa alih fungsi lahan menjadi penyebab utama banjir di Denpasar. Ia memilih menekankan hujan ekstrem yang “70 tahun tidak pernah terjadi” sebagai penyebab dominan. Pernyataan ini tampak sebagai strategi framing, upaya mengalihkan sorotan dari masalah tata ruang dan pembangunan pariwisata masif yang diyakini memperparah banjir.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melalui Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa banjir bandang 9 September 2025 dipicu tumpang-tindih anomali dinamika atmosfer yaitu Madden–Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, dan Rossby, bahkan kemungkinan pengaruh siklon. Istilah-istilah teknis ini disampaikan tanpa penerjemahan ke bahasa awam, sembari menekankan bahwa peringatan dini sudah dikeluarkan berlapis: Prospek Cuaca Sepekan sejak 5 September, diulang dalam peringatan tiga harian pada 7 September, dan di-update lagi pada pagi 10 September hingga level nowcasting beberapa jam sebelum kejadian. Narasi ini terbaca sebagai pembelaan atas kinerja early warning bahwa sinyal bahaya telah disiarkan, tetapi tidak cukup diindahkan oleh Pemda dan warga (minim respons kesiapsiagaan di hilir). Hal ini mengisyaratkan bahwa sistem peringatan dini sudah bekerja, tetapi rantai komunikasi risiko dan kesiapsiagaan di tingkat daerah masih lemah, sehingga pesan bahaya tidak berubah menjadi aksi nyata.
Komunikasi berbasis sains ini penting untuk mencegah spekulasi liar, tetapi terasa terlalu teknokratik bagi warga yang kehilangan rumah dan tidak menerima peringatan dini secara memadai. Warga Kampung Jawa di Denpasar menjadi kelompok paling terdampak. Mereka kehilangan rumah, dokumen penting, dan harta benda berharga. Banyak yang mengaku air datang begitu cepat tanpa informasi awal. Di media sosial, warganet mengkritik respons pemerintah yang dianggap lamban dan komunikasi yang minim. Unggahan video turis asing berselancar di tengah banjir bahkan viral, menjadi ironi atas lemahnya manajemen krisis.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menegaskan banjir ini bukan sekadar bencana alam, melainkan buah dari tata ruang yang buruk. WALHI mendesak moratorium pembangunan di kawasan Sarbagita, penegakan hukum terhadap pelanggaran sempadan sungai, dan pemulihan hulu yang semakin tergerus alih fungsi lahan. Kritik juga datang dari akademisi Warmadewa University yang menyebut pembangunan di Bali terlalu fokus menarik investor dan wisatawan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan. Pengamat pariwisata I Putu Anom mengingatkan kerusakan tata ruang bukan hanya merugikan warga, tetapi juga mengancam citra Bali sebagai destinasi wisata dunia. Industri pariwisata berupaya meyakinkan wisatawan bahwa operasional berjalan normal, tapi diam-diam khawatir jika banjir menjadi brand image baru yang merugikan.
Dari perspektif komunikasi kebijakan, banjir Bali dapat dibaca melalui kerangka policy cycle: agenda setting, formulasi kebijakan, adopsi, implementasi, dan evaluasi. Pada tahap agenda setting, pemerintah berusaha mengarahkan narasi dengan menekankan faktor hujan ekstrem, bukan tata ruang. Tahap formulasi dan adopsi terlihat dari penetapan status darurat, pengerahan dana Bantuan Tidak Terduga (BTT), dan koordinasi evakuasi. Implementasi kebijakan tampak pada pembersihan, evakuasi korban, dan distribusi logistik. Namun, di tahap ini pula celah komunikasi terlihat: informasi peringatan dini tidak menjangkau semua warga, pesan yang disampaikan lebih reaktif ketimbang preventif, dan publik belum diyakinkan bahwa akar masalah akan diselesaikan. Tahap evaluasi belum banyak dibahas secara terbuka, padahal inilah saat krusial bagi pemerintah untuk menjelaskan akar penyebab banjir, mengaudit izin pembangunan di kawasan rawan, dan merumuskan revisi tata ruang yang lebih ketat.
Banjir Bali juga harus dipahami sebagai krisis ekosistem. Teori ekosistem Eugene Odum menegaskan ekosistem sebagai satu kesatuan fungsional yakni bagian?bagian saling tergantung, gangguan pada satu komponen akan mengguncang sistem yang ada. Gene Likens melalui pendekatan watershed ecosystem menekankan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah unit ekologi yang harus dipelihar. DAS sebagai unit penting, terutama dalam konteks aliran material & air antara hulu dan hilir. Menjaga DAS (termasuk konektivitas hidrologi dan aliran bentukan fisik) adalah bagian penting mitigasi kerusakan lingkungan. Jika hutan di hulu gundul, sawah berubah menjadi beton, dan garis pantai direklamasi, daya serap air hilang, jalur air terganggu, dan banjir menjadi keniscayaan. Reklamasi pantai seperti di Teluk Benoa dan pembangunan di sempadan sungai mempersempit jalur air serta menghilangkan fungsi alami mangrove sebagai penahan banjir. Banjir 2025 adalah bukti nyata rusaknya ekosistem di Bali dan menjadi tanda bahwa pemulihan serius tidak bisa ditunda lagi.
Pelajaran penting dari bencana ini adalah kebutuhan mendesak akan komunikasi kebijakan yang transparan, partisipatif, dan berbasis data. Pemerintah harus memublikasikan peta risiko banjir secara real-time, menjelaskan izin pembangunan di area rawan, dan mengumumkan langkah korektif dengan jelas. Sistem peringatan dini harus diperkuat, menjangkau semua lapisan termasuk wisatawan mancanegara dengan pesan multibahasa. Desa adat, pemuka agama, dan komunitas pariwisata harus dilibatkan untuk memperkuat sosialisasi. Moratorium pembangunan di zona merah banjir perlu dipertimbangkan hingga revisi tata ruang disepakati. Restorasi hulu, rehabilitasi mangrove, dan perbaikan drainase harus menjadi prioritas agar daya serap air pulih. Dan yang tak kalah penting, evaluasi penanganan banjir harus dilakukan secara terbuka, melibatkan akademisi, aktivis, warga korban, dan media. Dengan begitu, publik yakin bahwa bencana ini menjadi momentum perbaikan kebijakan, bukan sekadar siklus tahunan.
Bali adalah etalase Indonesia sekaligus penyumbang pendapatan terbesar di sektor wisata. Pada 2024, Bali menyumbang devisa negara sekitar Rp107 triliun atau 44% dari total devisa pariwisata nasional. Cara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha merespons banjir akan menjadi cermin kualitas tata kelola kita. Komunikasi yang jujur, berbasis bukti, dan terbuka terhadap kritik akan membangun kepercayaan publik. Momentum ini seharusnya menjadi titik balik, bukan hanya untuk memulihkan Bali dari banjir, tetapi menjadikannya model nasional tata kelola bencana yang adil secara ekologis dan sosial.
*Penulis adalah Jurnalis Metro TV, Doktor Ilmu Komunikasi Unpad, dan Tutor/Pengajar UT/UBSI