RI Aktif Terlibat dalam Pembahasan Kebencian Berbasis Agama di Dewan HAM PBB

Komisioner Tinggi HAM PBB Volker Turk. (AP/Hadi Mizban/File)

RI Aktif Terlibat dalam Pembahasan Kebencian Berbasis Agama di Dewan HAM PBB

Willy Haryono • 3 October 2023 18:52

Jakarta: Aksi pembakaran dan penodaan kitab suci Al-Quran yang beberapa kali terjadi sepanjang tahun ini menjadi sorotan global. Banyak pihak, terutama dari negara-negara mayoritas Muslim, mengecam keras aksi kontroversial semacam itu.

Keseriusan dari aksi pembakaran kitab suci ini terefleksikan di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss. Dalam sidang Sesi ke-54, Dewan HAM PBB, kebencian berbasis agama menjadi salah satu isu yang dibahas.

Pekan ini, tepatnya pada 6 Oktober mendatang, akan ada penyampaian perkembangan terbaru dari Komisioner Tinggi HAM PBB Volker Turk mengenai fenomena kebencian berbasis agama dan dampaknya terhadap HAM.

"Selain isu religious hatred, isu lainnya yang juga menjadi perhatian adalah resolusi perpanjangan mandat Pelapor Khusus situasi HAM di Afghanistan," kata Wakil Tetap RI untuk PBB dan Organisasi Internasional di Jenewa, Dubes LBBP Febrian A. Ruddyard dalam Media Gathering 'Update dari Jenewa' yang berlangsung daring, Selasa, 3 Oktober 2023.

"Negosiasi masih berlangsung dan beberapa masukan Indonesia khususnya mengenai pentingnya peran religious scholars dalam mempromosikan hak pendidikan untuk perempuan dan anak perempuan," sambungnya.

Sebelumnya, Dewan HAM PBB telah mengadopsi Resolusi 53/1 saat maraknya aksi pembakaran Al-Quran, terutama di negara-negara Eropa. Pemungutan suara resolusi tersebut berujung dengan 28 negara mendukung, 12 menolak dan 7 abstain.

Meski bukan merupakan anggota Dewan HAM tahun ini, Indonesia turut mengawal dan aktif terlibat dalam proses pembahasan resolusi. Indonesia terlibat sebagai bagian dari kelompok negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang merupakan inisiator atau pengusung resolusi tersebut.

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Dubes Febrian mengatakan, insiden pembakaran Al-Quran yang terencana dan terus berulang merupakan bentuk advokasi kebencian berbasis agama yang jelas bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya Pasal 20.

Negara-negara di mana aksi pembakaran Quran terus terjadi, khususnya negara-negara di Eropa, tidak memiliki kerangka hukum dan kebijakan yang memadai untuk mencegah atau melarang secara hukum tindakan tersebut.

"Bagi Indonesia, penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk menebarkan kebencian dan diskriminasi tidak dapat dibenarkan," tegas Dubes Febrian.

Baca juga:  Penodaan Al-Qur'an di Depan KBRI Belanda, Indonesia Layangkan Surat Protes

Resolusi 53/1 tidak diperuntukkan secara eksklusif untuk kebencian terhadap agama atau umat Islam saja, tetapi berlaku untuk semua jenis kebencian terhadap agama dan penganut agama manapun.

Jika isu kebencian berbasis agama ini tidak segera ditangani, lanjut Dubes Febrian, maka pemenuhan kebebasan beragama atau berkepercayaan para penganut agama, termasuk religious minorities, akan terancam.

Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang mengatur kebencian berbasis agama, termasuk di antaranya termuat dalam KUHP yang baru, sehingga Indonesia sebetulnya
sudah menjalankan Resolusi 53/1 ini.

"Jika kita lihat perkembangan di negara-negara tempat aksi pembakaran Quran terus terjadi, di Swedia dan Denmark misalnya, ada kemajuan walaupun minim. Swedia dan Denmark kini tengah mengulas kembali legislasi nasionalnya agar dapat melarang aksi-aksi penistaan terhadap objek/simbol agama," papar Dubes Febrian.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Willy Haryono)