3 admin grup Facebook gay ditangkap polisi.
Imam Setiawan • 7 July 2025 17:19
Bandar Lampung: Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Lampung membongkar praktik penyimpangan seksual berbasis daring yang beroperasi melalui media sosial Facebook. Modusnya bermula dari komunitas pertemanan, yang berkembang menjadi jaringan jual beli konten pornografi dan prostitusi sesama jenis.
Investigasi mengungkap keberadaan grup Facebook bernama "Gay Lampung" yang telah aktif sejak 2017. Grup tersebut awalnya dibuat sebagai wadah komunikasi antar sesama gay, namun dalam perjalanannya berubah fungsi menjadi sarana transaksi konten asusila hingga praktik prostitusi terselubung.
“Awalnya hanya akun pertemanan biasa. Namun kemudian berubah nama dan fungsi menjadi wadah komunikasi komunitas gay di Lampung,” ujar Direktur Reskrimsus Polda Lampung, Kombes Dery Agung Wijaya dalam konferensi pers di Mapolda Lampung, Senin, 7 Juli 2025.
Grup tersebut dibuat oleh tersangka berinisial JM (53) yang diketahui berprofesi sebagai pedagang warung sembako. JM merupakan admin utama sekaligus fasilitator komunikasi antaranggota grup. Ia bahkan dikenal sebagai “Suhu” oleh komunitas karena telah mengidentifikasi diri sebagai gay sejak remaja.
Menurut Dery, grup ini kini memiliki lebih dari 20 ribu anggota, meski tidak semuanya terverifikasi. “Banyak yang menggunakan akun palsu,” imbuhnya.
Selain JM, polisi juga menetapkan dua tersangka lainnya, yakni SR (28) dan MS (18). Keduanya diketahui mengelola grup serupa bernama “Gay Bandar Lampung New”, yang digunakan untuk menjual video pornografi dan jasa prostitusi.
“SR menjual video asusila gay dengan tarif Rp100 ribu per tiga video. Dia juga menawarkan diri sebagai boti (peran feminin dalam hubungan sesama jenis) melalui media sosial dan aplikasi khusus,” ungkap Kanit I Subdit Siber, Kompol Freddy.
Polisi menyebut aplikasi yang digunakan dalam praktik ini adalah Walla, platform yang memungkinkan pengguna mendeteksi lokasi terdekat antaranggota komunitas. Aplikasi ini berfungsi layaknya marketplace untuk praktik prostitusi terselubung.
Kasus ini membuka fakta bahwa praktik prostitusi digital tak hanya terjadi di Lampung, tapi juga berpotensi menyebar secara nasional dengan memanfaatkan media sosial dan aplikasi berbasis lokasi.
“Setelah pemberitaan mencuat, banyak akun mendadak menghilang atau dinonaktifkan. Kami menduga masih ada pelaku lain yang sedang kami lacak,” pungkas Freddy.
Para tersangka dijerat dengan Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.