Muhammadiyah Tetapkan 1 Ramadhan Jatuh di 18 Februari, Ini Metode Hisab yang Dipakai

Ilustrasi: Istimewa

Muhammadiyah Tetapkan 1 Ramadhan Jatuh di 18 Februari, Ini Metode Hisab yang Dipakai

Riza Aslam Khaeron • 23 October 2025 20:49

Jakarta: Hari ini, Kamis, 23 Oktober 2025, Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara resmi telah menetapkan bahwa 1 Ramadan 1447 Hijriah jatuh pada hari Rabu, 18 Februari 2026. Ketetapan ini tertuang dalam Maklumat Nomor 2/MLM/I.0/E/2025 yang diumumkan melalui laman resmi Muhammadiyah.

Penentuan awal bulan puasa ini menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal, sebuah pendekatan astronomis yang menjadi ciri khas dalam tradisi penetapan kalender Hijriah Muhammadiyah.

Dalam menentukan awal bulan Hijriah, metode yang digunakan Muhammadiyah kerap berbeda dengan metode pemerintah yang lebih mengedepankan rukyat atau pengamatan langsung. Meski demikian, perbedaan ini bukan pada metode semata, melainkan juga pada kriteria visibilitas hilal yang dijadikan acuan.

Lantas, bagaimana metode hisab hakiki wujudul hilal bekerja dalam praktiknya? Berikut penjelasannya.
 

Metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal


Foto: Ilustrasi Ijtimak. (Dok. Metro TV)

Metode hisab hakiki wujudul hilal adalah metode perhitungan astronomis yang digunakan Muhammadiyah untuk menentukan awal bulan hijriah, termasuk Ramadan.

Metode ini bertumpu pada prinsip bahwa keberadaan hilal (lengkungan bulan sabit paling tipis yang berkedudukan pada ketinggian rendah) secara hisab, walaupun tidak terlihat secara kasat mata, sudah cukup sebagai dasar penetapan bulan baru.

Tiga kriteria utama dalam metode hisab hakiki wujudul hilal adalah:
  1. Terjadi ijtimak (konjungsi), yaitu posisi sejajar antara bulan dan matahari pada satu garis bujur ekliptika.
  2. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam di lokasi tertentu.
  3. Posisi piringan atas bulan berada di atas ufuk (garis batas antara langit dan permukaan bumi yang tampak dari tempat pengamat) saat matahari terbenam.
Jika ketiga syarat tersebut terpenuhi, maka malam itu dan hari berikutnya dinyatakan sebagai awal bulan baru dalam kalender Hijriah. Artinya, keberadaan hilal secara ilmiah (meskipun belum terlihat) telah dianggap sah untuk memulai bulan.

Pendekatan ini berbeda dengan metode rukyat yang mengharuskan terlihatnya hilal secara langsung melalui pengamatan mata. Muhammadiyah memandang bahwa visibilitas bukan syarat mutlak, melainkan keberadaan hilal secara ilmiah sudah memadai.

Muhammadiyah merujuk pada dalil Al-Qur’an, yakni Surat Yasin ayat 39–40:

Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.

Ayat ini menunjukkan bahwa pergerakan benda langit—matahari, bulan, dan malam-siang—telah ditentukan dalam garis edar yang pasti. Maka dari itu, dengan bantuan ilmu astronomi, manusia dapat menghitung secara akurat posisi bulan untuk menetapkan awal bulan hijriah.
 
Baca Juga:
Tok! Muhammadiyah Tetapkan 1 Ramadan 1447 H Jatuh pada 18 Februari 2026

Metode ini juga ditopang oleh perangkat lunak astronomi modern yang mampu menghitung waktu ijtimak, ketinggian hilal, dan posisi benda langit secara cepat dan akurat. Data hisab tersebut terkadang tetap diverifikasi dengan rukyat untuk memperkuat keandalan hasil perhitungan, meskipun bukan menjadi syarat utama.

Dalam “Pedoman Hisab Muhammadiyah”, dijelaskan bahwa hisab hakiki bukan hanya digunakan untuk awal Ramadan, tetapi juga untuk keperluan-keperluan ibadah lain seperti waktu salat, arah kiblat, dan penentuan awal bulan Dzulhijjah dan Syawal.

Metode ini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan beragama Muhammadiyah dan terus dikembangkan melalui kajian serta pelatihan rutin agar masyarakat dapat memahami dasar-dasar hisab dan menghindari kesalahan dalam praktik keagamaan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Surya Perkasa)