Ilustrasi geopolitik global. (MI)
Willy Haryono • 30 November 2024 20:21
Jakarta: Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan otonomi strategisnya di tengah meningkatnya dinamika geopolitik global.
Hal ini menjadi sorotan utama dalam sesi C1 bertajuk "Preserving Strategic Autonomy in Indonesia’s Foreign Policy: It’s Not That Simple, It’s Not That Easy" pada Conference on Indonesia's Foreign Policy (CIFP) 2024, yang berlangsung di Mal Kota Kasablanka, Jakarta, Sabtu, 30 November 2024.
Diskusi yang dihadiri oleh sejumlah pakar seperti Letnan Jenderal TNI (Purn) A. M. Putranto, Dr. Rizal Sukma, Prof. Hikmahanto Juwana, dan Dr. Evan A. Laksmana, membahas bagaimana politik luar negeri Indonesia yang berprinsip bebas dan aktif dapat terus dipertahankan di tengah ancaman fragmentasi regional serta tekanan dari kekuatan global.
Dr. Evan A. Laksmana, seorang Senior Fellow di International Institute for Strategic Studies (IISS), menyoroti perubahan persepsi terhadap posisi Indonesia di kawasan, terutama dalam konteks Laut China Selatan.
“Waktu saya di Manila, beberapa kolega bercanda mengatakan, ‘Well, congratulations bahwa kalian sekarang sudah jadi claimant.’ Hal ini menunjukkan bahwa posisi kita di mata negara-negara Asia Tenggara sudah berubah. Apakah kita masih bisa menjadi honest broker? Itu pertanyaan besar,” ujarnya.
Evan juga menguraikan bahwa ada tiga kepentingan internasional utama yang harus menjadi perhatian Indonesia. Pertama, kompetisi strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang terus memanas. Menurutnya, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton dalam kompetisi ini.
“Jika kita hanya bersikap sebagai penonton, itu berarti kita hanya mendayung di antara dua karang, bukan berusaha membentuk dinamika strategis tersebut,” tegasnya.
Kedua, Evan menekankan pentingnya mempertahankan integritas UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) sebagai landasan hukum negara-negara maritim di Asia Tenggara.
“Kalau kita mengurangi sedikit saja efektivitas UNCLOS, maka keseluruhan sistemnya bisa runtuh. Ini akan berdampak langsung pada stabilitas hukum dan kedaulatan maritim Indonesia,” tambahnya.
Ketiga, ia mengingatkan tentang ancaman fragmentasi di antara negara-negara Asia Tenggara akibat isu Laut China Selatan.
“Ada diplomatic decoupling antara negara-negara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Jika ini terus berlanjut, dampaknya akan sangat buruk bagi stabilitas kawasan dan juga posisi Indonesia,” ujar Evan.
Sementara itu, Prof. Hikmahanto Juwana, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, menekankan pentingnya kebijakan luar negeri yang tetap berpegang pada prinsip bebas dan aktif, tanpa kehilangan fokus pada kepentingan nasional.
“Kita harus tahu kepentingan nasional kita. Bapak Presiden sudah menyampaikan di G20 bahwa kita dipilih untuk menjawab isu seperti kelaparan, kemiskinan, dan ketergantungan. Itu yang harus menjadi prioritas kebijakan luar negeri kita,” jelas Hikmahanto.
Ia juga mengingatkan agar birokrasi mampu menerjemahkan visi presiden secara konkret dalam diplomasi.
“Prinsip bebas dan aktif bukan berarti kita diombang-ambingkan oleh kekuatan besar. Kalau kita tidak tahu arah kebijakan kita, itu bukan lagi kebijakan bebas dan aktif, melainkan ketergantungan,” tambahnya dengan tegas.
Melalui diskusi ini, para pembicara menyoroti perlunya strategi terkoordinasi dan berbasis kepentingan nasional untuk menghadapi tantangan global. Indonesia harus mampu mengelola dinamika geopolitik tanpa kehilangan posisinya sebagai kekuatan stabilitas di kawasan.
Sesi ini menjadi pengingat penting bahwa mempertahankan otonomi strategis membutuhkan pendekatan yang lebih dari sekadar komitmen verbal. Indonesia harus proaktif dalam membentuk kebijakan yang tidak hanya melindungi kepentingan domestik, tetapi juga memperkuat perannya di kancah internasional. (Muhammad Reyhansyah)
Baca juga: Perubahan Geopolitik Jadi Tantangan ASEAN dalam Jaga Stabilitas Kawasan