Tim Nasional Sepak Bola Indonesia. Foto: Metrotvnews.com/Duta Erlangga.
Jakarta: Timnas Indonesia kembali mendapat sorotan dari FIFA usai insiden diskriminasi dalam laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Bahrain. Pertandingan yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno, 25 Maret 2025 lalu, berujung pada sanksi tegas dari induk organisasi sepak bola dunia itu.
FIFA menyebut insiden tersebut melanggar Pasal 15 terkait tindakan diskriminatif. Akibatnya, PSSI harus menerima dua hukuman sekaligus: denda dan pembatasan jumlah penonton di laga kandang berikutnya.
Kabar ini disampaikan oleh Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Arya Sinulingga. Ia menjelaskan bahwa FIFA sudah mengirim surat keputusan sanksi kepada PSSI sejak Sabtu, 10 Mei 2025.
Berikut tujuh fakta penting terkait sanksi FIFA terhadap Indonesia:
1. Sanksi Dijatuhkan Berdasarkan Pelanggaran Pasal 15 FIFA
FIFA menyatakan bahwa PSSI bertanggung jawab atas tindakan diskriminatif yang dilakukan suporter Indonesia. Pelanggaran ini dianggap melanggar Pasal 15 dalam regulasi FIFA Disciplinary Code.
“Jadi kita kemarin sudah mendapatkan surat dari FIFA. Dengan referensi FDD-23338 tentang Pasal 15 Diskriminasi, jadilah keputusan dari FIFA yang menyatakan PSSI harus bertanggung jawab atas perilaku diskriminatif suporter pada saat Indonesia melawan Bahrain yang dimainkan tanggal 25 Maret 2025 lalu,” ujar Arya, Minggu, 11 Mei 2025.
Insiden ini menjadi tamparan keras bagi federasi sepak bola nasional. Arya menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap perilaku suporter.
Baca juga:
Timnas Indonesia Buka Peluang Lawan Malaysia
2. Diskriminasi Terjadi pada Menit ke-80
FIFA menyampaikan bahwa ujaran diskriminatif berlangsung saat pertandingan memasuki menit ke-80. Insiden dipusatkan di sektor 19 stadion, yang dihuni oleh suporter Indonesia.
Menurut laporan pertandingan, sekitar 200 hingga 300 pendukung Indonesia meneriakkan slogan xenofobia. Aksi ini dinilai merusak semangat fair play dan keberagaman yang dijunjung FIFA.
“Peristiwa insiden terjadi di sektor 19, disebabkan oleh suporter Indonesia, pada menit ke-80, sekitar 200-300 suporter tuan rumah meneriakkan slogan xenophobia (ujaran kebencian): 'Bahrain bla bla bla',” kata Arya.
Suporter yang duduk di tribune utara dan selatan menjadi perhatian khusus FIFA. Wilayah ini dianggap sebagai titik pusat terjadinya pelanggaran.
3. PSSI Didenda Lebih dari Rp400 Juta
Sanksi pertama yang dijatuhkan FIFA berupa denda dalam jumlah signifikan. Nominal denda mencapai lebih dari Rp400 juta.
Arya menyebut bahwa sanksi finansial ini tentu menyulitkan PSSI di tengah berbagai agenda Timnas. Ia juga menyesalkan bahwa tindakan segelintir suporter harus dibayar mahal oleh seluruh pihak.
“Akibatnya yang pertama, PSSI didenda hampir setengah miliar rupiah, atau sekitar Rp400 juta lebih,” ucap Arya.
Ia menambahkan, sanksi ini tidak hanya bersifat simbolik tapi juga memiliki dampak nyata pada operasional PSSI. Terlebih, agenda pertandingan ke depan sangat padat.
4. 15 Persen Kapasitas GBK Harus Dikosongkan
Selain denda, FIFA juga menjatuhkan sanksi pembatasan penonton di laga kandang berikutnya. PSSI wajib menutup 15 persen dari total kapasitas Stadion GBK.
Bagian tribune yang terkena imbas adalah wilayah utara dan selatan, tepat di belakang gawang. Langkah ini diambil untuk memberi efek jera sekaligus mencegah insiden serupa terulang.
“Kemudian yang kedua, PSSI diperintahkan FIFA untuk memainkan pertandingan berikutnya dengan jumlah penonton terbatas. Dengan menutup sekitar 15 persen dari kursi yang tersedia, ini terutama di tribune di belakang gawang, artinya di utara dan selatan,” sambung Arya.
FIFA juga meminta agar PSSI menyerahkan rencana pembagian kursi kepada mereka setidaknya 10 hari sebelum laga. Rencana ini harus mencerminkan komitmen terhadap pemberantasan diskriminasi.
5. Laga Indonesia vs China Jadi Laga Ujian
Pertandingan melawan China pada 5 Juni 2025 menjadi ujian pertama pelaksanaan sanksi. Timnas Indonesia tetap diizinkan menggelar pertandingan di GBK dengan kapasitas hampir penuh.
Namun, kuota 15 persen yang dikurangi itu harus diisi oleh kelompok penonton tertentu. FIFA memberikan opsi agar kursi tersebut diberikan kepada komunitas anti-diskriminasi.
“Dan kita harus memberikan rencana kepada FIFA, rencana tempat duduk 10 hari sebelum pertandingan. Tapi FIFA juga memberikan ruang untuk alternatif, boleh saja 15 persen itu diberikan, tapi kepada komunitas anti-diskriminasi, atau komunitas khusus, seperti keluarga,” ujar Arya.
Penonton dari komunitas ini diwajibkan untuk membawa dan memasang spanduk bertema anti-diskriminasi selama pertandingan. Ini menjadi bagian dari edukasi publik secara langsung di stadion.
6. Spanduk Anti-Diskriminasi Jadi Syarat Utama
FIFA tidak hanya menekankan pengurangan jumlah penonton, tetapi juga mengarahkan agar stadion menjadi ruang edukatif. Setiap penonton yang duduk di kuota khusus tersebut harus membawa spanduk kampanye.
PSSI juga diminta menyusun rencana komprehensif untuk mengatasi isu diskriminasi secara jangka panjang. Edukasi dan literasi dianggap sebagai kunci perubahan perilaku.
“Dan mereka harus memasang nanti spanduknya spanduk anti-diskriminasi. Jadi kemudian FIFA juga meminta kepada PSSI untuk bikin planning rencana komprehensif melawan tindakan diskriminasi di sepak bola Indonesia,” kata Arya Sinulingga.
Langkah ini diharapkan membentuk kesadaran kolektif di kalangan suporter. Terutama agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.
7. Jadi Pelajaran Penting bagi Suporter dan PSSI
Arya menilai bahwa sanksi ini harus dijadikan momentum perbaikan. Ia menekankan bahwa perilaku diskriminatif hanya akan merugikan Indonesia sendiri.
Di tengah perjuangan Timnas untuk lolos ke Piala Dunia 2026, dukungan publik sangat dibutuhkan. Namun, dukungan itu harus dilakukan dengan cara yang beradab dan bertanggung jawab.
“Ini pembelajaran bagi kita semua. Jelas merugikan kita semua. Tapi kita harus tanggung bersama-sama semua,” ucap Arya.
Ia mengajak seluruh elemen sepak bola Indonesia untuk mulai membangun kultur suporter yang positif. Literasi dan pendekatan edukatif akan menjadi fokus ke depan.